Seolah telah menjadi satu konsekuensi, setiap orang yang belajar
harus menempuh ujian, Sebagai penentu apakah dia termasuk orang yang
berhasil ataukah seorang pecundang. Tidak hanya dalam masalah pelajaran
dan pendidikan, bahkan dalam masalah iman dan ketakwaan juga ada ujian.
Allah akan menguji setiap orang yang beriman, untuk membuktikan apakah
orang tersebut betul-betul beriman ataukah hanya sebatas pengakuan bahwa
dirinya beriman. Allah berfirman,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا
وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ( ) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia mengira bahwa dirinya bebas untuk mengatakan
“kami beriman” sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji
orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui siapakah orang-orang
yang jujur dalam imannya dan siapakah yang dusta dalam imannya.” (QS. Al-Ankabut 2-3)
Bukti yang menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang bisa dilihat setelah dia menjalani ujian.
Musim UN
menjadi masa para siswa dalam karantina. Segala aktivitas kesehariannya
menjadi berubah. Yang dulunya sering bergadangan nonton bola dan
klayapan, masuk UN
tiba-tiba jadi remaja soleh – sholihah. Ada yang rajin tahajud, ada
yang rutin puasa sunah, ada yang bernadzar, bahkan ada yang mujahadahan.
Berbagai upaya dikerjakan, demi mengejar prestasi dan cita-cita.
Detik-detik menegangkan, menentukan nasib setumpuk harapan pribadi dan
orang tua.
Untuk itu, ada baiknya jika pada kesempatan yang singkat ini kita
bahas adab-adab yang selayaknya diperhatikan dalam ujian. Karena kita
yakin bahwa syariat islam adalah syariat yang paripurna, menjelaskan
seluruh permasalahan umat. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah
dialog antara Salman Al Farisi dengan orang kafir. Suatu ketika ada
orang kafir yang berkata kepada Salman dengan nada agak mengejek: “Hai
Salman, benarkah Nabimu mengajarimu semua hal sampai dalam masalah buang
air..?” Salman lantas menjawab dengan nada penuh bangga: “Iya, betul.
Beliau mengajari kami semua hal sampai dalam masalah buang air.”
(Dikutip oleh Ibnul Qoyyim dalam Hidayatul Hiyari hal. 99)
Adab-adab ketika ujian
Pertama, Berusaha disertai tawakkal
Inilah langkah awal yang selayaknya dilakukan oleh setiap yang
mengharapkan keberhasilan. usaha merupakan modal pertama meraih
kesuksesan. karena sukses tidaklah serta merta turun dari langit.
perubahan hanya akan terjadi ketika orangnya mau berusaha untuk berubah.
Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11).
Karena itu, dalam islam tidak ada kamus tawakal tanpa usaha. Karena
setiap tawakal harus diawali usaha. Tawakal tanpa usaha diistilahkan
dengan tawaaakal (pura-pura tawakal).
Namun ingat, juga jangan terlalu bersandar pada usaha dan kemampuan
kita. karena semuanya berada di bawah kehendak Sang Maha Kuasa. Sehebat
apapun usaha kita, jangan sampai membuat kita terlalu PD, sehingga
mengesankan tidak membutuhkan pertolongan Allah.
Allah menjanjikan, orang yang bertawakkal akan dicukupi oleh Allah. sebagaimana disebutkan dalam firmannya,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq: 3).
Sebaliknya, orang yang tidak bertawakkal maka dikhawatirkan akan
diuji dengan kegagalan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu
Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bercerita: “Nabi Sulaiman pernah berikrar: “Malam ini aku akan
menggilir 100 istriku. semuanya akan melahirkan seorang anak yang akan
berjihad di jalan Allah.” beliau mengucapkan demikian dan tidak
mengatakan: “InsyaaAllah”. Akhirnya tidak ada satupun yang melahirkan
kecuali salah satu dari istrinya yang melahirkan setengah manusia (baca:
manusia cacat). kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوِ اسْتَثْنَى، لَوُلِدَ لَهُ مِائَةُ غُلَامٍ كُلُّهُمْ يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Andaikan Sulaiman mau mengucapkan InsyaaAllah niscaya akan terlahir 100 anak dan semuanya berjihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad 7137 dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Siapa kita dibanding Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Keinginan seorang
Nabi yang tidak disertai tawakkal ternyata bisa menui kegagalan.
Kedua, Hindari sebab yang tidak memenuhi syarat
Ada sebagian orang yang ketika hendak ujian dia menempuh jalan
pintas. Dia menggunakan sebab yang bertolak belakang dengan syariat. Ada
yang datang ke orang pintar untuk minta perewangan. Ada yang makan
kitab biar bisa cepat hafal. Ada yang dzikir tengah malam dengan membaca
ribuan wirid yang tidak disyariatkan, dan seabreg trik lainnya untuk
menggapai sukses.
Perlu kita tanamkan dalam lubuk hati kita bahwa segala sesuatu itu bisa dijadikan sebagai sebab jika memenuhi dua kriteria:
Ada hubungan sebab akibat yang terbukti secara ilmiyah. misalnya
belajar dan menghafal adalah sebab untuk mendapatkan pengetahuan.
jika syarat pertama tidak terpenuhi maka harus ada syarat kedua,
yaitu sebab tersebut ditentukan oleh dalil. sehingga meskipun sebab
tersebut tidak terbukti secara ilmiyah memiliki hubungan dengan akibat
namun selama ada dalil maka boleh dijadikan sebagai sebab. contoh,
meruqyah dengan bacaan Al Qur’an untuk mengobati orang sakit. meskipun
secara ilmiyah tidak bisa dibuktikan secara ilmiyah apakah hubungan
antara bacaan Al-Qur’an dengan pengobatan, namun mengingat ada dalil
yang menegaskan hal tersebut maka itu bisa dijadikan sebagai sebab.
jika ada sebab yang tidak memenuhi dua kriteria di atas maka
menggunakan sebab tersebut hukumnya syirik kecil. karena berarti dia
telah berdusta atas nama Allah. dia meyakini bahwa hal itu bisa
dijadikan sebab padahal sama sekali Allah tidak menjadikan hal itu
sebagai sebab.
Dan jika sebab yang ditempuh itu berupa amal, maka syaratnya harus
ada dalilnya. jika tidak, bisa jadi terjerumus ke dalam jurang dosa
bid’ah.
Ketiga, Perbanyak Istighfar
Sesungguhnya salah satu sumber utama kegagalan yang terjadi pada manusia adalah dosa dan maksiat. Allah tegaskan,
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa..” (QS. As-Syura: 40)
Salah satu dampak buruk dosa adalah bisa menghalangi kelancaran rizki. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis,
إن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه
Sesungguhnya seseorang terhalangi untuk mendapat rizki, disebabkan dosa yang dia perbuat. (HR. Ahmad 22386 dan dihasankan Al-Albani).
Karena itu, agar kita terhindar dari dampak buruk perbuatan maksiat
yang kita lakukan, perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah. Perbanyak
istighfar dalam setiap waktu yang memungkinkan untuk berdizkir. Kita
berharap, dengan banyak istighfar, semoga Allah memberi ampunan dan
memudahkan kita untuk mendapatkan apa yang diharapkan.
Dalam sebuah hadis dinyatakan,
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ
كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا ، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا ، وَرَزَقَهُ مِنْ
حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Siapa yang membiasakan istigfar, Allah akan memberikan
kelonggaran di setiap kesempitan, memberikan jalan keluar di setiap
kebingungan, dan Allah berikan dia rizki dari arah yang tidak dia
sangka. (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, Ad-Daruquthni, al-baihaqi dan yang lainnya).
Hadis ini dinilai dhaif oleh sebagian ulama, hanya saja maknanya sejalan dengan perintah Allah di surat Hud:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي
فَضْلٍ فَضْلَهُ
Perbanyaklah meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada
waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. (QS. Hud: 3)
Keempat, Banyak berdo’a
Perbanyaklah berdo’a kepada Allah. Meminta segala hal yang kita
butuhkan. Baik dalam urusan akhirat maupun dunia. Karena semakin sering
mengetuk pintu maka semakin besar peluang untuk dibuka-kan pintu
tersebut. Semakin sering kita berdo’a, semakin besar peluang untuk
dikabulkan. Namun perlu diingat, jangan suka minta dido’akan orang lain.
Karena berdo’a sendiri itu lebih berpeluang untuk dikabulkan dari pada
harus melalui orang lain. Lebih-lebih di saat kita sedang membutuhkan
pertolongan. Akan ada perasaan berharap yang lebih besar bila
dibandingkan dengan do’a yang diwakilkan orang lain. Disamping itu,
berdo’a sendiri lebih menunjukkan ketergantungan kita kepada Allah
secara langsung. Dan kita melepaskan diri dari ketergantungan pada orang
lain.
Kelima, Pegang Prinsip Kejujuran dan Hindari bentuk penipuan
Pernahkah kita menyadari bahwa plagiat dan mencontek ketika ujian
termasuk bentuk penipuan. Adakah diantara kita yang sadar bahwa
melakukan pelanggaran dalam ujian termasuk bentuk kedustaan. Pernahkah
kita merasa bahwa hal itu membawa konsekuensi dosa. mungkin ada diantara
kita yang beranggapan kalo itu tak ada hubungannya dengan agama. Ini
lain urusan antara UN dengan agama. tak ada kaitannya dengan urusan
akhirat.
Perlu kita sadari bahwa apapun bentuk pelanggaran yang kita lakukan
ketika ujian, baik itu bentuknya mencontek, plagiat, catatan, pemalsuan
data dan pelanggaran lainnya, hukumnya haram dan dosa besar.
Tinjauannya:
1. Perbuatan itu terhitung sebagai bentuk penipuan. karena orang yang
melihat nilai kita beranggapan bahwa itu murni usaha kita yang
dilakukan dengan jujur dan sportif. padahal hakekatnya itu adalah hasil
kerja gabungan, kerja kita dan teman-teman sekitar kita. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim).
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa perbuatan menipu ini termasuk
dosa besar. karena diancam dengan kalimat: “bukan termasuk golongan
kami”. (lihat Syarh Riyadhus Sholihin Syarh hadis Bab: Banyaknya jalan
menuju kebaikan).
Komite tetap tim fatwa Saudi pernah ditanya tentang masalah
pelanggaran ketika ujian. Mereka menjawab: “Menipu dalam ujian
pembelajaran atau yang lainnya itu haram. Orang yang melakukannya
termasuk pelaku salah satu dosa besar.
Berdasarkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang menipu kami maka dia bukan bagian kami.” Dan tidak
ada perbedaan antara materi pelajaran agama maupun non agama.”
Dalam kesempatan yang sama Komite fatwa ini juga pernah ditanya
tentang hadis “barangsiapa yang menipu kami…” kemudian mereka menjawab:
“Hadis ini statusnya shahih. Mencakup segala bentuk penipuan baik
dalam jual beli, perjanjian, amanah, ujian sekolah atau pesantren, baik
bentuk penipuannya itu dengan melihat buku ajar, mencontek teman,
memberikan jawaban kepada yang lain, atau dengan melemparkan kertas pada
yang lain.”
2. Perbuatan ini termasuk diantara sifat orang yang diancam dengan adzab. Allah berfirman, yang artinya:
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ
“…dan mereka yang suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka
lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari
adzab…” (QS. Ali Imran: 188).
Kita yakin, orang yang suka melakukan pelanggaran ketika ujian pasti
tidak lepas dari tujuan mencari nilai bagus. Disadari maupun tidak,
ketika ada orang yang memuji nilai UN yang kita peroleh pasti akan ada
perasaan bangga dalam diri kita. Meskipun kita yakin betul kalo itu
bukan murni kerja kita. Oleh karena itu, bagi yang punya kebiasaan
demikian, segeralah bertaqwa kepada Allah. Mudah-mudahan kita tidak
digolongkan seperti ayat di atas.
3. Perbuatan semacam tergolong sebagai orang yang mengenakan pakaian kedustaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لم يعط كلابس ثوب زور
“Orang yang merasa bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan maka seolah dia memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. Ahmad & Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani).
Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud “Orang yang merasa
bangga dengan apa yang tidak dia dapatkan” adalah orang yang menampakkan
bahwa dirinya telah mendapatkan keutamaan padahal aslinya dia tidak
mendapatkannya. (lih. Faidhul Qodir 6/338).
Orang semacam ini termasuk orang yang menipu orang lain. Dia
menampakkan seolah dirinya orang pinter, nilainya-nya bagus, padahal
aslinya….
Ujian adalah amanah untuk dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebagai
muslim yang baik, selayaknya kita jaga amanah ini dengan baik. Amanah
ilmiah yang selayaknya kita tunaikan dengan penuh tanggung jawab. Karena
itulah yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan. Bukan jaminan orang
yang nilai UN-nya baik, pasti mendapatkan peluang hidup yang lebih
nyaman. Ingat, kedustaan dan kecurangan akan mengundang kita untuk
melakukan kedustaan berikutnya, dalam rangka menutupi kedustaan
sebelumnya. Dan bisa jadi itu terjadi secara terus-menerus. Berbeda
dengan kejujuran, dia akan mengantarkan pada ketenangan, dan selanjutnya
mengantarkan pada jalan kebaikan dan surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ
يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ
صِدِّيقًا. وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ الفُجُورَ
يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ
عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan
sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang
senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat
di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari
berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada
kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang
sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di
sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Keenam, tips dalam menghadapi kegagalan
a. Tanamkan bahwa semuanya telah ditakdirkan
sebagai bukti bahwa kita adalah orang yang beriman pada taqdir, kita
yakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini semuanya
telah ditaqdirkan oleh Allah. Kita yakini bahwa tidak ada perbuatan
Allah yang sia-sia. Semua pasti ada hikmahnya. Baik kita ketahui maupun
tidak. Kita tutup rapat-rapat jangan sampai kita berburuk sangka kepada
Allah. Sebagai penyempurna keimanan kita pada taqdir adalah kita
pasrahkan semuanya kepada Allah dan tidak terlalu disesalkan. Kegagalan
bukanlah tanda bahwa Allah membenci kita. Demikian pula, sukses bukanlah
tanda bahwa Allah membenci kita. Bahkan ini termasuk anggapan cupet
manusia yang telah dibantah dalam Al Qur’an. Allah berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ
فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ( ) وَأَمَّا إِذَا
مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ( )
كَلَّا…
Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu memuliakannya dan
memberinya kesenangan maka dia berkata: “Rabbku memuliakan aku.”(15)
Namun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizqinya maka dia
berkata: “Rabbku menghinakanku.”(16) sekali-kali tidak…..”(QS. Al Fajr: 15-17).
b. Bersabar dengan penuh mengharapkan pahala
b. Bersabar dengan penuh mengharapkan pahala
Jika gagal ini adalah bagian dari ujian hidup maka berusahalah untuk
bersabar. Lebih-lebih jika kita mampu untuk bersikap ridla atau bahkan
bersyukur. Sesuatu yang berat ini akan menjadi terasa ringan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يَزَالُ البَلَاءُ بِالمُؤْمِنِ وَالمُؤْمِنَةِ فِي
نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ
خَطِيئَةٌ
“Tidak henti-hentinya ujian itu akan menimpa setiap mukmin
laki-laki maupun wanita terkait dengan dirinya, anaknya, dan hartanya.
Sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. At Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Riyadhus Shalihin).
Kegagalan ini akan menjadi penebus dosa jika orang yang tertimpa kegagalan tersebut mampu bersabar.
c. yakini ada yang lebih buruk dari pada kita
inilah diantara cara yang diajarkan islam agar kita tetap bisa
bersyukur kepada Allah terhadap nikmat yang telah Dia berikan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا
إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا
نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang lebih bawah dari pada kamu, dan jangan
melihat orang yang lebih banyak nikmatnya dari pada kamu, karena akan
memberi kekuatan kamu untuk tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR. Muslim)
d. hindari ber-andai-andai
jangan sampai terbetik dalam diri kita teriakan perasaan “andai aku
tadi pinjem bukunya si A pasti aku bisa mengerjakannya..” “Andai aku
tadi…pasti…” “Andai aku…kan harusnya gak…” dan seterusnya. Umumnya
perasaan ini muncul ketika orang itu dalam posisi gagal. Karena perasaan
ini merpakan awal dari godaan setan agar manusia mengingkari taqdir
Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي
فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ
فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Apabila kamu tertimpa kegagalan, janganlah kamu mengatakan:
“Seandainya aku bersikap demikian tentu yang terjadi demikian..” tetapi
katakanlah: “Ini telah ditaqdirkan oleh Allah, dan Allah berbuat sesuai
apa yang Dia kehendaki.” Karena sesungguhnya ucapan berandai-andai itu
membuka (pintu) perbuatan setan.” (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, ada ungkapan yang sunnah untuk kita ucapkan ketika sedang mengalami kegagalan:
قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Ini telah ditaqdirkan oleh Allah, dan Allah berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki”
e. berusaha untuk memperbaikinya dan jangan putus asa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ
“Bersemangatlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah
kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta jangan sekali-kali kamu
bersikap lemah (karena putus asa)…” (HR. Muslim).
Selamat menempuh ujian, semoga sukses menyertai kita semua…amiin
sumber: http://www.konsultasisyariah.com
0 Response to "Tips Menghadapi Ujian Nasional"
Post a Comment