Bagaimana kita bisa bersabar dalam menghadapi musibah? Bagaimana
keadaan manusia dalam menghadapi musibah? Pasti ada keadaan yang tercela
dan ada yang terpuji.
Keadaan Manusia dalam Menghadapi Musibah
Para ulama menyebutkan bahwa seseorang dalam menghadapi musibah ada empat keadaan.
Keadaan pertama adalah murka (marah) yaitu seseorang
menampakkan rasa marah baik pada lisan, hati atau anggota badannya.
Seseorang yang murka pada Allah dalam hatinya yaitu dia merasa benci
(murka) pada Allah dan dia merasa bahwa Allah telah menzaliminya dengan
ditimpakan suatu musibah. –Kita berlindung pada Allah dari perbuatan
semacam ini-
Adapun seseorang merasa murka lisannya seperti dia mencaci maki waktu (masa) sehingga menyakiti Allah.
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela
waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia
mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang
membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Sedangkan murka dengan anggota badannya adalah seperti seseorang
menampar-nampar pipinya, memukul-mukul kepalanya sampai merobek-robek
bajunya atau semacam itu.
Inilah yang dilakukan oleh orang-orang Syiah ketika bulan Muharram
tepatnya pada hari Asyura dalam rangka meratapi kematian Husein. Mereka
tidak bersabar, malah memukul-mukul bahkan mengeluarkan darah dari
badan-badan mereka. Ini bukanlah sabar, namun perbuatan semacam ini
berarti murka terhadap musibah.
Orang-orang yang murka semacam ini tidak akan mendapatkan ganjaran
dari musibah yang menimpanya, tidak terselamatkan dari musibah bahkan
akan mendapatkan dosa. Orang semacam ini menjadi tertimpa dua musibah
(kerugian) di dunia yaitu dengan kemurkaannya dan musibah yang menyakiti
dia sendiri. Dalam hadits disebutkan mengenai orang yang melakukan
kelakukan tidak sabar dengan merusak diri, yaitu hadits dari ‘Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).
Perbuatan tersebut termasuk niyahah dan ancamannya berat. Niyahah
termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman
(siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al
Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
«
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ
الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ
بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ
قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ
قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan
jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan
kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan
kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau
bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat,
maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang
berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan
penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).
Keadaan kedua adalah sabar dengan menahan diri
terhadap musibah yang dihadapi. Keadaan kedua ini adalah dia merasa
benci dengan musibah dan tidak pula menyukai kejadian seperti itu
terjadi tetapi dia menahan diri dengan tidak menggerutu dengan lisannya
yang bisa membuat Allah murka padanya, dia juga tidak marah sehingga
memukul-mukul anggota badannya, dia juga tidak menggerutu dalam hatinya.
Keadaan ketiga adalah ridha terhadap musibah. Yaitu
seseorang merasa lapang hatinya dengan musibah yang menimpa, dia
betul-betul ridha dan seakan-akan dia tidak mendapatkan musibah. Hukum
sabar adalah wajib dan ridha adalah mustahab (dianjurkan).
Keadaan keempat adalah bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpa. Keadaan seperi inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihat] Segala puji
hanya milik Allahyang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi
sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
‘[Alhamdulillah ala kulli hal] Segala puji hanya milik Allah atas
setiap keadaan’.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini hasan)
Keadaan terakhir inilah tingkatan tertinggi dalam mengahadapi musibah
yaitu seseorang malah mensyukuri musibah yang menimpa dirinya. Keadaan
seperti inilah yang didapati pada hamba Allah yang selalu bersyukur
kepada-Nya, dia melihat bahwa di balik musibah dunia yang menimpanya ada
lagi musibah yang lebih besar yaitu musibah agama. Dan ingatlah musibah
agama tentu saja lebih berat daripada musibah dunia karena azab
(siksaan) di dunia tentu saja masih lebih ringan dibandingkan siksaan di
akhirat nanti. Karena musibah dapat menghapuskan dosa, maka orang
semacam ini bersyukur kepada Allah karena dia telah mendapatkan tambahan
kebaikan.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا
يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ
وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ
اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah rasa capek, rasa sakit (yang terus menerus),
kekhawatian, rasa sedih, bahaya, kesusahan menimpa seorang muslim sampai
duri yang menusuknya kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan
musibah tersebut.” (HR. Bukhari no. 5641)
Sabar di Awal Musibah
Sabar yang menjadikan seseorang mendapatkan ganjaran pahala adalah
sabar ketika di awal musibah dan inilah sabar yang benar. Adapun sabar
sesudahnya adalah cuma sekedar hiburan. Perhatikanlah hadits berikut.
Dari Anas bin Malik beliau berkata,
مَرَّ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ
فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ،
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا
إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ
أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang
wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.”
Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau
belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada
yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang tersebut adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu
(rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak
mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya namanya
sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari no. 1283)
Musibah itu Tanda Allah Cinta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ
قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ
السَّخَطُ
“Sesungguhnya balasan terbesar adalah dari ujian terberat. Jika Allah
mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka.
Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka, maka
baginya murka Allah.” (HR. Tirmidzi, beliau katakana hadits ini hasan
ghorib)
Terakhir kami hanya bisa menyemangati dengan menyebutkan kata penyair Arab,
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanyasumber:http://rumaysho.com/qolbu/keadaan-dalam-menghadapi-musibah-9582
Namun akhirnya lebih manis daripada madu
0 Response to "Bagaimana Seharusnya Menghadapi Musibah?"
Post a Comment