Etika Berbeda Pendapat

Di tengah maraknya perbedaan-perbedaan pendapat pada zaman sekarang ini, kita perlu senantiasa menerapkan etika berbeda pendapat. Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang mulia—semoga Allah Swt. meridhai mereka semua— telah memberikan teladan kepada kita bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat sehingga tidak berakibat negatif, tapi justru bisa memberi pengaruh positif yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Kita tahu bahwa istilah perbedaan (ikhtilaf) itu identik dengan perbedaan pendapat atau pemikiran, sedangkan istilah perselisihan/salah paham (khilaf) itu terkait dengan antar orang per orang. Berkenaan dengan hal ini, cara menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan yang dicontohkan Rasulullah Saw. adalah dengan terlebih dahulu mendengar seluruh pendapat yang berbeda-beda dari para sahabatnya yang mulia itu. Banyak sekali peristiwa dan kasus yang membuktikan sikap Rasulullah ini. Prinsip mendengar dan bermusyawarah yang diterapkan Rasulullah tersebut tak lain merupakan perwujudan dari firman Allah Swt. Dalam surat Ali Imran: 159 :
“… Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.”
dan surat as-Syura: 38 :
“…Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.”
Dalam banyak kesempatan Rasulullah Saw. selalu berusaha mendengar pendapat dari para sahabatnya untuk kemudian menyaring sekaligus memilih pendapat terbaik dan bermanfaat.
Contah nyata dari sikap Rasulullah tersebut terlihat, misalnya, saat beliau mendengar dan kemudian menuruti anjuran salah seorang sahabat beliau, al-Hubab bin al-Mundzir bin al-Jumuh, agar rumah yang ditempati Rasulullah Saw. dalam perang Badar diubah posisinya dan dimajukan hingga mendekat ke beberapa sumber air yang telah dikuasai oleh kaum Muslimin. Wilayah di mana terdapat banyak sumber air tersebut merupakan salah satu posisi paling strategis untuk pertahanan dan penyusunan kekuatan kaum Muslimin. Rasulullah Saw. dan para sahabatnya kemudian melakukan perubahan sesuai saran al-Hubab tersebut. Dan benar, saran itu membuahkan manfaat yang besar bagi kaum Muslimin saat itu.
Teladan Rasulullah Saw. tersebut juga diikuti oleh para sahabat beliau saat terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Sebagaimana Rasulullah, para sahabat juga memegang teguh budi pelerti yang luhur serta keteguhan hati. Mereka selalu berusaha dan mengedepankan persatuan umat dari pada hal-hal lainnya.
Contoh nyata dari hal ini adalah sahabat Abdullah bin Mas’ud, r.a. Suatu saat sahabat yang mulia itu pernah menyaksikan sahabat Usman bin Affan, r.a. shalat di Mina sebanyak empat rakaat. Saat itu dia berkata: “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). Sesungguhnya aku pernah shalat bersama Rasulullah Saw., juga bersama Abu Bakar dan Umar hanya dua rakaat.” Meskipun demikian, saat tiba waktu shalat, Ibnu Mas’ud tetap shalat bersama Usman bin Affan sebanyak empat rakaat. Ketika ditanya kenapa dia melakukan hal itu, dia menjawab: “Berselisih itu tidak baik”. Dia tidak ingin memecah kesatuan jamaah atau menjadi penyebab tercerai-berainya umat Muhammad Saw.
Masih banyak lagi contoh-contoh lain dalam sepanjang sejarah Islam yang menunjukkan bagaimana etika berbeda pendapat yang diajarkan Rasulullah Islam dipraktekkan oleh umat Islam. Karena itu di zaman sekarang ini, kita sangat butuh untuk menyebarkan dan menjalankan etika berbeda pendapat yang diajarkan Islam tersebut.
Etika berbeda pendapat yang dituntunkan Islam memiliki beberapa prinsip yang penting, di antaranya:
  1. Memanfaatkan setiap perbedaan pandangan untuk memperkaya pemikiran, sehingga dapat memilih pandangan terbaik di antara berbagai pandangan yang muncul.
  2. Berprasangka baik. Teladan yang ditunjukkan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya menunjukkan bahwa mereka selalu berbaik sangka terhadap orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan berharap, pendapat yang benar adalah pendapat orang lain tersebut, bukan pendapatnya, sebagaimana pernah diungkapkan Imam Syafi’i.
  3. Tidak menuruti hawa nafsu. Rasulullah Saw. dan para sahabatnya selalu berpegang teguh pada kebenaran, sebagiamana dituntunkan Allah dalam Al-Qur’an Surat Shad: 26 : “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
  4. Konsisten dan berkomitmen hanya demi kebenaran. Jika suatu kebenaran telah tampak, maka mereka secara konsisten berpegang teguh padanya. Mereka juga menjalankannya berdasarkan proritas dan hal-hal yang memberikan manfaat bagi mereka. Contoh yang baik terkait hal ini ditunjukkan oleh sahabat Abu Dzar al-Ghifari r.a. saat berselisih pendapat dengan sahabat Bilal bin Rabah r.a. Ketika telah terang bahwa Bilal pihak yang benar, al-Ghifari bersimpuh sembari menundukkan kepalanya di atas tanah. Beliau bersumpah tidak akan mengangkat kepalanya sampai Bilal yang menegakkannya dengan kakinya. (semoga Allah meridhai mereka semua)
  5. Selalu mengedepankan persatuan. Saat terjadi perbedaan, prinsip utama yang mereka pegang teguh adalah menjaga persatuan dan soliditas umat, karena dua hal itulah sumber segala kebaikan bagi umat. Mereka menyadari sekaligus melaksanakan tuntunan Allah dalam Al-Qur’an surat al-Anfal: 46: “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”
Dengan demikian, kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan etika dalam berbeda pendapat, agar kita dapat menjadi lebih baik dan mendapatkan hal-hal yang positif dari perbedaan itu. Dengan etika berbeda pendapat, umat akan terhindar dari prasangka buruk dan hawa nafsu, dan sebaliknya akan terbimbing untuk selalu mengikuti kebenaran. Dengan begitu kita akan senantiasa dapat merapatkan barisan, saling mengasihi, dan saling tolong-menolong di antara sesama umat Islam, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Surat Ali Imran: 103:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Semoga Allah menjadikan kita bermanfaat untuk umat, dan senantiasa memberikan kebaikan bagi umat ini. Amin.
*Sumber http://waag-azhar.or.id

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Etika Berbeda Pendapat"

Post a Comment