As-Sunnah Dan Kedudukannya Dalam Syariah Islam

I.   MUQADDIMMAH

As-Sunnah adalah sumber hukum dan pedoman hidup yang kedua setelah al- Qur’an, karena al-Qur’an tidak akan dapat dipahami dan diamalkan dengan sempurna tanpa as- Sunnah, sehingga kita harus mengetahui kedudukannya untuk dapat melaksanakan kandungan al- Qur’an. Kedudukan Nabi SAW menurut al-Qur’an adalah :
1.    Menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an : Dan KAMI telah turunkan kepdmu (Muhammad) al-Qur’an agar kamu menjelaskan pd ummat manusia apa-apa yang telah diturunkan pada mereka dan agar mereka berfikir. (QS 16/44)
2.    Menjadi uswah-hasanah (contoh teladan) yang wajib diikuti oleh ummatnya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi orang-orang yang mengharap rahmat ALLAH dan hari Kiamat serta banyak menyebut nama ALLAH. (QS 33/21)
3.    Untuk ditaati perintahnya ; Hai orang beriman taatlah kepada ALLAH dan rasul- NYA  (QS8/20, 4/56-60,69-80)
4.    Otoritas dalam penetapan hukum dan halal-haram : Dan menghalalkan yang baik bagi mereka dan mengharamkan yang buruk bagi mereka (QS 7/157)
5.    Bahwa umat harus komitmen dengan aturan dan ketetapan rasul : Dan apa yang telah diberikan rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang telah dilarangnya maka tinggalkanlah (QS 59/7)
6.    Bahwa semua perkataan nabi SAW bersumber dari wahyu : Dan tidaklah yang diucapkannya itu bersumber dari hawa nafsunya, semua ucapannya itu hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya (QS 53/3-4)
Sehingga dari itu semua dapat disimpulkan bahwa taat pada nabi SAW adalah wajib, karena taat pada ALLAH tidak akan terealisasi kecuali dengan taat pada rasul-NYA, dan mentaati nabi SAW setelah wafat adalah dengan mentaati sunnahnya.
II.     DEFINISI  AS-SUNNAH  DAN  AL-HADITS

1.      Menurut Bahasa :
a.    Sunnah artinya perjalanan atau kebiasaan yang baik ataupun buruk, seperti pada hadits : “Barangsiapa yang melakukan suatu sunnah yang baik maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat dan barangsiapa yang berinisiatif melakukan sunnah yang buruk maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat” (HR Muslim)
b.    Hadits artinya suatu yang baru, sebagaimana dalam hadits nabi SAW :  (Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami yang bukan bersumber dari Islam maka ia tertolak” (HR Muslim)
2.   Menurut Definisi : Para ulama berbeda pendapat tentang definisi sunnah/hadits ini karena luasnya obyek penelaahan masing-masing, karena tulisan ini lebih mengarah pada ushul-fiqh, maka digunakan definisi sunnah menurrt ahli ushul-fiqh yaitu : Semua perkataan perbuatan dan persetujuan nabi SAW.

III .     SEJARAH  PENGUMPULAN  HADITS
Ada 5 periode pengumpulan dan kodifikasi hadits, sbb :
1.  Periode Periwayatan Hadits dengan Lisan dan Menjaganya dengan Hafalan (abad I H).

Pada periode ini (sahabat dan tabi’in senior) belum dibukukan melainkan dijaga dalam hafalan, karena nabi SAW pernah melarang mereka menulis hadits-hadits beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : Janganlah kalian menulisi dariku selain al-Qur’an, dan barangsiapa yang telah menulis sesuatu selain al-Qur’an maka ia harus menghapusnya. Walaupun akhirnya beliau SAW membolehkannya, yaitu pada hari penaklukan Makkah pada para sahabat : Tulislah apa yang aku sampaikan untuk abu Syah. Dan membolehkan Abdullah bin Amr bin Ash untk menulis hadits-hadits darinya.
Saat nabi SAW wafat para sahabat berinisiatif untuk menulis al-Qur’an dalam bentuk mushaf dan tidak membukukan hadits nabi SAW melainkan bersungguh-sungguh menyebarkannya dalam bentuk hafalan mereka.

2.   Periode Penulisan dan Pembukuan Hadits (abad ke-II H).

Dengan tersebarnya Islam, terpencarnya sahabat dan sebagian wafat, maka mulai terasa perlunya pembukuan hadits. Hal ini menggerakkan khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat th 99H-101H) untuk memerintahkan para ulama terutama pada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (qadhi Madinah) dan Muhammad bin Muslim bin UbaidiLLAH bin AbduLLAH bin Syihab az Zuhri al-Madani (tokoh ulama Hijaz dan Syam 124 H).
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka seperti Ibnu Juraij (150-H) dan Ibnu Ishaq (151-H) di Makkah; Ma’mar (153-H) di Yaman; al-Auza’i (156-H) di Syam; Malik (179-H), Abu Arubah (156-H) dan Hammah bin Salamah (176-H) di Madinah; Sufyan ats-Tsauri (161-H) di Kufah; Abdullah bin Mubarak (181-H) di Khurasan; Husyaim (188-H) di Wasith; Jarir bin abdul Hamid (188-H) di Ray. Mereka tidak hanya menulis hadits-hadits nabi SAW saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi’in.
Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa itu adalah :
(1)    Mushannaf oleh Syu’bah bin al-Hajjaj (160-H) 
(2)    Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa’ad (175-H)
(3)    Al-Muwaththa’ oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H). 
(4)    Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H)
(5)    Al-Musnad oleh asy-Syafi’i (204-H)
(6)    Jami al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan’ani (211-H)

3.  Periode Penyaringan Hadits dari Perkataan para Shahabat dan Tabi’in (abad ke-III H)

Yaitu dimana tidak ditulis kecuali hadits-hadits nabi SAW saja, sehingga mulai disusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa, seperti musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Walaupun demikian, masih tercampur dengan hadits-hadis dha’if  bahkan maudhu’, sehingga pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami’us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan abad keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits-hadits yang shahih, diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah :
(1)    Mushannaf Said bin Manshur (227-H)
 (2)    Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235-H)
(3)    Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (241-H) 
(4)    Shahih al-Bukhari (251-H)
(5)    Shahih Muslim (261-H) 
(6)    Sunan Abu Daud (273-H) 
(7)    Sunan Ibnu Majah (273-H) 
(8)    Sunan At-Tirmidzi (279-H) 
(9)    Sunan An-Nasa’i (303-H)
(10)Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H) 
(11)Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H)
4.   Periode Penyempurnaan  (Abad-IV H)
Yaitu pemisahan antara ulama mutaqaddimin (salaf) yang metode mereka adalah berusaha sendiri dalam meneliti perawi, menghafal hadits sendiri serta menyelidiki sendiri sampai pada tingkat sahabat dan tabi’in. Sedangkan ulama muta’akhkhirin (khalaf) ciri mereka dalam menyusun karyanya adalah dengan menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh salaf, menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya (memberikan ulasan tentang isi hadits-hadits tersebut).
Kitab-kitab hadits yang termasyhur pada abad ini diantaranya adalah : 
(1)    Shahih Ibnu Khuzaimah (311-H)
(2)    Shahih Abu Awwanah (316-H) 
(3)    Shahih Ibnu Hibban (354-H)
(4)    Mu’jamul Kabir, Ausath dan Shaghir, oleh At-Thabrani (360-H) 
(5)    Sunan Daraquthni (385-H)
5.      Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab2 Hadits (Abad-V H)
Yaitu dengan mengklasifikasikan hadits, cara pengumpulannya, kandungannya dan tema-tema yang sama. Disamping itu juga mensyarah dan meringkas kitab-kitab hadist sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadist hukum, seperti :
(1)    Sunanul Kubra, al-Baihaqi (384-458 H)
(2)    Muntaqal Akhbar, Majduddin al-Harrani (652-H)
(3)    Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H)
Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti :
(1)    At-Targhib wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H) 
(2)    Riyadhus Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H)

Oleh DR. Musthofa Assiba’i

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "As-Sunnah Dan Kedudukannya Dalam Syariah Islam"

Post a Comment