Pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom berpengaruh terhadap sektor pendidikan. Pemberlakukana otonomi daerah meniscayakan otonomi di sektor pendidikan.
Untuk menyelaraskan otonomi daerah dengan otonomi di sektor pendidikan, pengelolaan pendidikan diarahkan pada manajemen berbasis sekolah (MBS). Konsep kebijakan ini dirumuskan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada warga sekolah (guru, kepala sekolah, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Kebijakan ini diharapkan dapat diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Madrasah sebagai salah satu entitas pendidikan di Indonesia, mau tak mau harus mengikuti perkembangan pendidikan dewasa ini. Adopsi manajemen pendidikan berbasis sekolah menjadi manajemen berbasis madrasah merupakan keniscayaan yang tak terelakkan.
Namun keniscayaan itu tampaknya menjadi persoalan krusial bagi madrasah. Berbeda dari lembaga pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, keberadaan madrasah secara struktural berada di bawah Departemen Agama, meski madrasah memiliki karakteristik dan struktur seperti sekolah umum.
Keberadaan madrasah di bawah Depag cukup berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangannya. Pengaruh itu akan tampak jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum di lingkungan Depdiknas.
Misalnya dalam kasus kebijakan penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi per kapita bagi siswa madrasah dan sekolah umum. Dalam kebijakan ini tampak kepincangan yang cukup mencolok. Indeks biaya per kapita pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sekolah umum. Pada tahun anggaran 1999/2002, misalnya, biaya pendidikan per siswa madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) Rp 19.000 sedangkan per siswa sekolah dasar negeri Rp 100.000 (1 : 5,2), madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) per siswa Rp 33.000 sedangkan per siswa SMPN Rp 46.000. (1:1,4).
Kepincangan pendanaan subsidi itu tampak lebih mencolok jika mencakup madrasah/ sekolah swasta karena perbandingan persentase jumlah madrasah negeri/ swasta dengan persentase jumlah sekolah negeri/ swasta menunjukkan kondisi yang berkebalikan.
Data Departemen Agama pada tahun 2000 menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2% dan MIN 24,3%, SMPN berjumlah 44,9% berbanding 55,9% SMP swasta. Pada tingkat selanjutnya, MA swasta berjumlah 705 berbanding 30% MAN. Adapun SMUN berjumlah 30,5% dibanding SMU swasta 69,4%.
Kebanyakan madrasah, terutama swasta, mengalami kesulitan dalam prasarana dan sarana, keterbatasan jumlah tenaga kependidikan dan kemampuan yang kurang memadai dalam memberikan imbalan kepada tenaga kependidikannya. Dari sini muncul kecenderungan pragmatisme dalam penugasan guru mata pelajaran dan tenaga kependidikan lain.
Banyak tenaga pendidikan yang menjalankan tugas tidak sesuai dengan bidang keahlian dan pengalamannya di dunia pendidikan. Akibat lebih jauh, mutu pendidikan madrasah makin tertinggal. Dalam kondisi demikian, kesiapan dan kelayakan madrasah dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis madrasah tampaknya patut dipertanyakan.
Departemen Agama melalui Puslitbang Pendidikan Agama pernah mengadakan studi kelayakan pada madrasah-madrasah di Indonesia. Studi dilaksanakan di sebelas kabupaten pada delapan provinsi. Studi yang dilaksanakan pada tahun 2002 itu menunjukkan, semua madrasah yang diteliti menyatakan kesiapan melaksanakan manajemen berbasis sekolah. Namun sebagian besar termasuk dalam kategori belum terlalu layak untuk melaksanakan program kebijakan itu.
Salah satu indikasi kekuranglayakan itu adalah masih ditemukan perbedaan persepsi dalam menanggapi kebijakan otonomi pendidikan dan cenderung manafsirkan otonomisasi sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap madrasah, sementara realitasnya masih menghadapi kesulitan pada aspek ketenagaan, pendanaan, dan pembinaan manajemen.
Sebagian besar madrasah masih menggantungkan harapan akan peran pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan dorongan moral dan materiil serta bantuan dalam mendesain program pendidikan madrasah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Realitas dukungan masyarakat terhadap pendidikan madrasah juga masih menjadi tanda tanya. Sebagian besar warga masyarakat masih memandang madrasah dengan sebelah mata. Tidak sedikit orang tua yang menyekolahkan anaknya ke madrasah karena tidak diterima di sekolah lain.
Pemberdayaan
Salah satu modal sosial yang dimiliki madrasah adalah semangat dan loyalitas yang cukup baik dari para guru dan tenaga kependidikan lalin, meski dengan imbalan yang kurang memadai. Banyak guru madrasah cukup bersemangat untuk mengelola madrasah secara profesional dan terus berupaya meningkatkan kualitas diri dengan jalan mengikuti diklat-diklat yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta. Sebagian di antaranya mencoba melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Modal sosial ini tampaknya terkait dengan faktor ideologis, yaitu madrasah sebagai lembaga pendidikan keagamaan.
Melihat kondisi madrasah dalam konteks diterapkannya manajemen berbasis madrasah, upaya-upaya pemberdayaan madrasah menjadi kebutuhan mendesak bagi lembaga pendidikan Islam ini.
Upaya pemberdayaan madrasah dapat dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, pelatihan manajemen berbasis madrasah bagi para pengelola madrasah. Pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan kompetensi dan kesiapan pengelola madrasah.
Kedua, riset aksi partisipatoris untuk memetakan kekuatan, tantangan, hambatan, dan peluang madrasah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan manajemen berbasis madrasah. Ketiga, pendampingan terhadap pengelola madrasah dalam menerapkan manajemen berbasis madrasah.
Upaya-upaya itu dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak-pihak yang peduli terhadap pendidikan madrasah, misalnya perguruan tinggi di daerah dan lembaga-lembaga sosial lain.
Oleh: Yudi Hartono
Untuk menyelaraskan otonomi daerah dengan otonomi di sektor pendidikan, pengelolaan pendidikan diarahkan pada manajemen berbasis sekolah (MBS). Konsep kebijakan ini dirumuskan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada warga sekolah (guru, kepala sekolah, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Kebijakan ini diharapkan dapat diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Madrasah sebagai salah satu entitas pendidikan di Indonesia, mau tak mau harus mengikuti perkembangan pendidikan dewasa ini. Adopsi manajemen pendidikan berbasis sekolah menjadi manajemen berbasis madrasah merupakan keniscayaan yang tak terelakkan.
Namun keniscayaan itu tampaknya menjadi persoalan krusial bagi madrasah. Berbeda dari lembaga pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, keberadaan madrasah secara struktural berada di bawah Departemen Agama, meski madrasah memiliki karakteristik dan struktur seperti sekolah umum.
Keberadaan madrasah di bawah Depag cukup berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangannya. Pengaruh itu akan tampak jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum di lingkungan Depdiknas.
Misalnya dalam kasus kebijakan penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi per kapita bagi siswa madrasah dan sekolah umum. Dalam kebijakan ini tampak kepincangan yang cukup mencolok. Indeks biaya per kapita pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sekolah umum. Pada tahun anggaran 1999/2002, misalnya, biaya pendidikan per siswa madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) Rp 19.000 sedangkan per siswa sekolah dasar negeri Rp 100.000 (1 : 5,2), madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) per siswa Rp 33.000 sedangkan per siswa SMPN Rp 46.000. (1:1,4).
Kepincangan pendanaan subsidi itu tampak lebih mencolok jika mencakup madrasah/ sekolah swasta karena perbandingan persentase jumlah madrasah negeri/ swasta dengan persentase jumlah sekolah negeri/ swasta menunjukkan kondisi yang berkebalikan.
Data Departemen Agama pada tahun 2000 menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2% dan MIN 24,3%, SMPN berjumlah 44,9% berbanding 55,9% SMP swasta. Pada tingkat selanjutnya, MA swasta berjumlah 705 berbanding 30% MAN. Adapun SMUN berjumlah 30,5% dibanding SMU swasta 69,4%.
Kebanyakan madrasah, terutama swasta, mengalami kesulitan dalam prasarana dan sarana, keterbatasan jumlah tenaga kependidikan dan kemampuan yang kurang memadai dalam memberikan imbalan kepada tenaga kependidikannya. Dari sini muncul kecenderungan pragmatisme dalam penugasan guru mata pelajaran dan tenaga kependidikan lain.
Banyak tenaga pendidikan yang menjalankan tugas tidak sesuai dengan bidang keahlian dan pengalamannya di dunia pendidikan. Akibat lebih jauh, mutu pendidikan madrasah makin tertinggal. Dalam kondisi demikian, kesiapan dan kelayakan madrasah dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis madrasah tampaknya patut dipertanyakan.
Departemen Agama melalui Puslitbang Pendidikan Agama pernah mengadakan studi kelayakan pada madrasah-madrasah di Indonesia. Studi dilaksanakan di sebelas kabupaten pada delapan provinsi. Studi yang dilaksanakan pada tahun 2002 itu menunjukkan, semua madrasah yang diteliti menyatakan kesiapan melaksanakan manajemen berbasis sekolah. Namun sebagian besar termasuk dalam kategori belum terlalu layak untuk melaksanakan program kebijakan itu.
Salah satu indikasi kekuranglayakan itu adalah masih ditemukan perbedaan persepsi dalam menanggapi kebijakan otonomi pendidikan dan cenderung manafsirkan otonomisasi sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap madrasah, sementara realitasnya masih menghadapi kesulitan pada aspek ketenagaan, pendanaan, dan pembinaan manajemen.
Sebagian besar madrasah masih menggantungkan harapan akan peran pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan dorongan moral dan materiil serta bantuan dalam mendesain program pendidikan madrasah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Realitas dukungan masyarakat terhadap pendidikan madrasah juga masih menjadi tanda tanya. Sebagian besar warga masyarakat masih memandang madrasah dengan sebelah mata. Tidak sedikit orang tua yang menyekolahkan anaknya ke madrasah karena tidak diterima di sekolah lain.
Pemberdayaan
Salah satu modal sosial yang dimiliki madrasah adalah semangat dan loyalitas yang cukup baik dari para guru dan tenaga kependidikan lalin, meski dengan imbalan yang kurang memadai. Banyak guru madrasah cukup bersemangat untuk mengelola madrasah secara profesional dan terus berupaya meningkatkan kualitas diri dengan jalan mengikuti diklat-diklat yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta. Sebagian di antaranya mencoba melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Modal sosial ini tampaknya terkait dengan faktor ideologis, yaitu madrasah sebagai lembaga pendidikan keagamaan.
Melihat kondisi madrasah dalam konteks diterapkannya manajemen berbasis madrasah, upaya-upaya pemberdayaan madrasah menjadi kebutuhan mendesak bagi lembaga pendidikan Islam ini.
Upaya pemberdayaan madrasah dapat dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, pelatihan manajemen berbasis madrasah bagi para pengelola madrasah. Pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan kompetensi dan kesiapan pengelola madrasah.
Kedua, riset aksi partisipatoris untuk memetakan kekuatan, tantangan, hambatan, dan peluang madrasah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan manajemen berbasis madrasah. Ketiga, pendampingan terhadap pengelola madrasah dalam menerapkan manajemen berbasis madrasah.
Upaya-upaya itu dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak-pihak yang peduli terhadap pendidikan madrasah, misalnya perguruan tinggi di daerah dan lembaga-lembaga sosial lain.
Oleh: Yudi Hartono
0 Response to "Strategi Pemberdayaan Madrasah"
Post a Comment