DALAM banyak kesempatan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, sering mengungkapkan bahwa
pendidikan seharusnya tidak membelenggu atau membebani siswa, tetapi
mencerahkan dan menyenangkan. Anies berjanji akan mengupayakan
pembelajaran yang lebih berkualitas dan menyenangkan.
Sayangnya, ketika ditanya, konsepnya
seperti apa dan kapan akan dilaksanakan, Pak Menteri tidak memberi
jawaban pasti. Kita tentu sepakat, pendidikan memang harus membebaskan,
mencerahkan, dan menyenangkan sehingga anak-anak kita gairah, bahkan passion, kasmaran belajar.
Pendidikan yang membebani dan
membosankan, hemat penulis, ikut menjadi penyebab mengapa pendidikan
kita belum mencapai hasil menggembirakan, bahkan gagal. Dikatakan gagal
karena pendidikan kita tak kunjung mendekat pada tujuan pendidikan
nasional seperti diamanatkan UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, juga gagal
karena sepi prestasi.
Kemampuan anak-anak kita dalam bidang
matematika dan sains yang menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan
tergolong rendah, jauh dari yang diharapkan. Bahkan merupakan yang
terendah di antara negara-negara ASEAN.
Seperti umum diketahui, hasil terbaru TIMSS (Trend in Mathematics and Science Studies)
2011, Indonesia berada di peringkat 38 dari 42 negara peserta.
Singapura berada di peringkat ke-2 dan Malaysia ke-26. Hasil PISA (The Programme for International Student Assesment) 2012 menempatkan Indonesia hampir di posisi juru kunci, peringkat 64 dari 65 negara peserta.
Konsep dan kreativitas guru
Pengembangan pendidikan yang
menyenangkan itu, hemat penulis, terkait dengan 2 hal pokok: 1) konsep
dan 2) implementasi yang menuntut kompetensi dan kreativitas guru.
Soal pertama, konsep, perlu dirumuskan
secara jelas agar tidak terjadi mispersepsi. Konon ada guru atau wali
murid yang memahami `pendidikan yang menyenangkan’ itu secara terpisah,
yakni pendidikan dan lalu bersenang-senang. Ada pula yang menekankan
senang-senangnya ketimbang pendidikannya.Ini tentu keliru! Menurut Scott
D Richman, kesenangan (dalam fun teaching) itu bukan tujuan
pada dirinya sendiri, melainkan agar murid bisa menikmati pendidikan
sehingga mendongkrak prestasi belajar mereka (Successful Teaching, 2013: 83).
Di kalangan pakar pendidikan, model atau strategi pembelajaran yang
menekankan partisipasi dan keaktifan siswa sudah banyak dikenal, mulai
dari konsep active learning dari Melvin Silberman, guru besar Tempel University yang kesohor dengan bukunya, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject (1996) dan 101 Ways to Make Training Active (2011), hingga Quantum Teaching dari Bobby DePorter (2010).
Model pembelajaran Quantum Teaching (QT)
diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Georgi Lazanop (Bulgaria) dan
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Bobbi de Porter (Amerika),
penulis buku best seller, Quantum Teaching. Konsep ini diujicobakan di
Super Camp, lembaga kursus yang didirikan dan dikembangkan oleh Bobbi.
Hasilnya memang menggembirakan.
Strategi ini berhasil menaikkan motivasi
68%, prestasi belajar 73%, percaya diri 81%, harga diri 84% dan
keterampilan 98 %. (Bobby DePorter, 2010).
Di Indonesia, konsep active learning
ataupun quantum teaching juga sudah cukup dikenal, dengan terjemahan
yang beragam, mulai dari konsep cara belajar siswa aktif (CBSA),
pendidikan aktif kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), hingga yang
terbaru konsep pendidikan aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan
menyenangkan (PAIKEM).
Namun, sejauh mana guru-guru kita
memahami konsep-konsep pembelajaran yang menekankan keaktifan dan
kreativitas dari siswa ini, dan sejauh mana mereka mengimplementasikan
dalam proses pembelajaran, sulit menjawabnya. Tanpa kemampuan dan
kreativitas yang memadai, strategi pengajaran baru yang diwajibkan tidak
akan pernah berjalan. Karena sebagaimana biasanya, para guru akan tetap
melanjutkan yang lama meski dengan merek baru.
Soal kedua, ialah soal implementasi.
Seperti telah disinggung di atas, soal kedua ini terkait erat dengan
kemampuan dan kreativitas guru. Agar kreatif dan sukses dalam
melaksanakan tugas pembelajaran, para guru mesti memahami dengan baik 4
prinsip sukses pembelajaran, successful teaching, seperti diusulkan
Scott D Richman di bawah ini.
Pertama, remember they are just kids,
sadari mereka (peserta didik) itu hanya lah anak-anak. Banyak guru
lupa bahwa yang dihadapi itu hanyalah anak anak, bukan orang dewasa.
Guru perlu mengenali watak dan kecenderungan kejiwaan mereka. Materi dan
cara yang digunakan harus sesuai dengan mental mereka. Meski mereka
nyata-nyata melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. “You have to keep loving them just as much,“ demikian nasihat Bill Cosby.
Kedua, listen what your students have to say,
dengarkan apa yang ingin mereka katakan. Banyak guru hanya bicara dan
bicara lagi, dan tidak ada waktu bagi murid untuk bicara, mengungkapkan
perasaan dan pikirannya. Dalam penelitian, diketahui guru bicara lebih
dari 80%. Mestinya guru lebih banyak mendengar ketimbang bicara, seperti
nasihat Mark Twain, “If we were meant to talk more than listen, we would have two mouths and only one ear.“
Ketiga, give the students 100% of yourself,
curahkan perhatian sepenuh hati. Perhatian guru berkorelasi secara
positif dengan capaian siswa. Di sini, kompetensi personal dan dedikasi
guru menjadi taruhan keberhasilan pembelajaran.
Keempat, focusing on the positive,
fokus pada hal-hal yang baik dari siswa. Filosofi pengajaran berlawanan
dengan filosofi pemberitaan, jurnalistik. Media biasanya selalu
mengejar yang buruk-buruk, karena menganut paham, “Bad news is good news.“
Pengajaran justru melihat sisi-sisi positif dan menumbuhkannya,
sehingga pembelajaran menarik minat siswa dan membuatnya memiliki
passion kasmaran belajar.
Mulai dari guru
Dengan konsep dan kompetensi serta
kreativitas guru yang baik, pembelajaran yang diharapkan Pak Menteri itu
bisa dilakukan. Penulis, sepaham dengan banyak pakar yang menyatakan,
tidak ada mata pelajaran yang jenuh, bikin bete, dan lain-lain; yang ada
adalah guru dan cara mengajar yang membosankan.
Jadi, perbaikan kualitas pendidikan kita
bisa dimulai dari guru. Idealnya, sesuai UU Guru dan Dosen, seorang
guru mesti memiliki 4 kompetensi, yaitu profesional, pedagogis,
personal, dan sosial. Sayangnya, di negeri kita, orang-orang terbaik
dengan kompetensi tinggi malah tidak banyak yang bersedia menjadi guru.
Malahan yang terjadi banyak orang menjadi guru karena tidak bisa menjadi
yang lain. Ini yang membuat pendidikan kita tidak bisa mencerahkan dan
menyenangkan. Wallahu a`lam.
A. Ilyas Ismail ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA Jakarta
0 Response to "Pendidikan yang Menyenangkan"
Post a Comment