Sejak diajukannya konsep sains islami oleh Sayyed Hosein Nasr dan program islamisasi pengetahuan oleh almarhum Isma’il Faruqi, terjadi perdebatan panjang yang tak berujung tentang sains dan Islam. Ada yang mengatakan sains yang sekarang tidak islami seperti kata Hosein Nasr dan ada yang mengatakan bahwa sains itu netral seperti almarhum Abdussalam.
Yang mengatakan sains modern itu tak islami merujuk pada krisis peradaban kontemporer. Yang mengatakan bahwa sains sekarang tak islami berbeda pendapat mengenai sains mana yang islami. Hosein Nasr misalnya mengatakan sains tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami, sedangkan Ziauddin Sardar mengatakan bahwa sains islami masih harus dikonstruksi setelah membongkar sains modern yang ada.
Sementara itu terdapat pandangan bahwa sains sekarang telah islami karena banyak penemuan-penemuan baru sains bersesuaian dengan konsep-konsep Quran tentang alam. Oleh karena itu yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi sains, tetapi modernisasi ilmu-ilmu kalam, fiqh dan tasawwuf. Kemunduran peradaban Islam bersumber pada ketidak mampuan umat Islam menggali Quran secara ilmiah di satu pihak dan kegagalan mengakomodasi tuntutan-tuntutan zaman sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.
Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami. Tampaknya semua pandangan itu mempunyai argumen-argumen yang sama kuatnya. Namun sains itu bukan hanya sekumpulan pengetahuan, akan tetapi juga meliputi proses yang menghasilkannya. Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.
Oleh karena itu, sains bukanlah suatu produk yang statis yang bisa diwarnai begitu saja oleh pemakainya. Sains Barat modern terus berkembang dan mengalami transformasi sesuai dengan adaptasi sosio-kultural terhadap teknologi sebagai aplikasi sains dan implikasi filosofis penemuan-penemuan teoritik di dalam sains itu sendiri. Sains adalah sebuah bagian dari proses ko- evolusi sosio-teknologi. Di awal milenium ini koevolusi sosio-teknologi mencapai masa transisi baru dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Bersamaan dengan itu sains mengalami transformasi paradigmatik suatu hal yang dilupakan oleh para peserta debat besar sains dan islam..
Itulah sebabnya dalam makalah ini kita tidak akan berdebat mengenai tingkat keislamian sains Barat masa kini, tetapi memeriksa keislamian sains barat masa depan. Dalam pandangan ini transformasi paradigmatik sains barat merupakan bagian dari islamisasi sains. Islamisasi sains adalah kelanjutan rasional dari reorientasi paradigmatik sains yang sedang berjalan sehubungan dengan kritik-kritik eksternal yang mengaitkan dampak-dampak eksternal negatif sains dengan paradigma sains modern. Oleh karena itu tahap-tahap transformasi paradigmatik sains itu kita jadikan langkah-langkah islamisasi menuju sains islami masa depan. Kita mulai dengan langkah pertama.
Langkah Pertama:
Analisis Struktur Internal Sains
Menurut sejarah, sains Barat modern bermula dengan lahirnya mekanika Newton yang kemudian menjadi model untuk cabang-cabang ilmu lainnya. Pada awalnya sains alam adalah cabang filsafat dan disebut filsafat alam. Judul buku Isaac Newton yang berisi teorinya tentang gerak benda-benda berjudul Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam.
Sebelum terbitnya buku itu terjadi perdebatan filosofis di abad XVII antara aliran empirisme Francis Bacon dan aliran Rasionalisme Rene Descartes. Bacon mengatakan bahwea sains modern harus bermula pada fakta-fakta empiris yang bisa diamati, sedangkan teori dibuat berdasarkan generalisasi dari fakta-fakta tersebut. Sementara itu Descartes mengatakan sains harus dibangun seperti geometri Euklides yang terbentuk dari sejumlah aksioma, definisi dan penurunan teorema-teorema secara deduktif dengan menggunakan logika.
Ketika menulis bukunya, Newton mengikuti contoh metoda matematik yang diberikan Descartes. Apa yang dilakukan Newton adalah menambahkan aksioma-aksioma tentang gerak yang dianggapnya melengkapi aksioma- aksioma geometri Euklides. Namun, berbeda dengan Descartes, Newton tidak menganggap aksiomanya sebagai pernyataan yang harus diterima benar dengan sendirinya seperti aksioma-aksioma geometri Euklides.
Aksioma-aksioma baru itu, bagi Newton, adalah hipotesa-hipotesa sementara yang konsekuensi-konsekuensinya harus bisa sesuai dengan pengamatan- pengamatan empiris. Dengan demikian, dia menyelesaian pertikaian fikosofis antara empirisme Francis Bacon dan rasionalisme Rene Descartes dengan mengajukan metoda hipotetiko-deduktif yang dikawinkan dengan metoda eksperimental-induktif. Artinya sains modern bukan sekedar rasional ataupun empiris saja. Hakekat sains adalah pengetahuan rasional empiris atau pengetahuan rasional obyektif.
Tujuan sains modern yang rasional obyektif itu adalah untuk pemanfaatan alam bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Ia bersifat rasional karena sains memiliki komponen pengetahuan teoritis dan sifatnya obyektif menunjukkan bahwa komponen lainnya adalah pengetahuan faktual yang diperoleh melalui eksperimen terhadap obyek-obyeknya.
Pengetahuan faktual terdiri dari dua komponen. Yang pertama adalah metoda eksperimen kuantitatif yang reprodusibel sehingga menjamin obyektivitas data-datanya. Yang kedua adalah fakta-fakta eksperimental yang diperoleh melalui analisis statistik data-data yang diperoleh dari eksperimen. Fakta- fakta itulah yang mencerminkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta
Pengetahuan teoritis terdiri dua komponen. Yang pertama adalah perumusan hukum-hukum alam yang diasumsikan ada pada gejala-gejala alam. Yang kedua terdiri dari prinsip-prinsip logis matematis yang harus dipenuhi oleh hukum-hukum alam itu. Gabungan antara kedua komponen itu membentuk teori mengenai gejala-gejala alam yang direpresentasikan oleh pengetahuan faktual.
Keempat komponen pengetahuan ilmiah menjadi satu ketika terjadi kesesuaian antara ramalan-ramalan teoritis fakta-fakta eksperimental. Proses pengujian kebenaran pengetahuan teoritis melalui hasil-hasil eksperimen disebut proses verifikasi teori. Proses penemuan kesalahan suatu teori melalui percobaan-percobaan eksperimental disebut proses falsifikasi.
Sains tumbuh dengan semakin luasnya pengetahuan faktual yang memverivikasinya. Sains berkembang setelah terjadi pembangunan kembali teori yang difalsifikasi oleh pengamatan-pengamatan eksperimental. Teori berkembang jika digantikan oleh teori baru yang menjadikan teori lama sebagai hal khusus dari teori yang baru tersebut. Jadi sains tumbuh kembang melalui benturan antara pengetahuan teoritis yang rasional dan pengetahuan eksperimental yang obyektif.
Kedua komponen besar pengetahuan ilmiah mempunyai fungsinya masing- masing. Pengetahuan teoritis berfungsi untuk melukiskan menjelaskan dan menfasirkan pengetahuan faktual. Sedangkan pengetahuan faktual berfungsi untuk mengamati dan melukiskan semua fenomena alam yang obyektif. Dengan demikian sains modern mempunyai empat buah fungsi: observasional, deskriptif, eksplanatif dan interpretatif.
Keempat fungsi pengetahuan ilmiah tersebut memungkinkan manusia melakukan prakiraan-prakiraan terhadap apa yang terjadi jika manusia mengintervensi gejala-gejala alam. Hal ini diperlukan untuk mengendalikan dan mengaturnya sehingga mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan manusia. Hal inilah yang dilakukan oleh teknologi sebagai penerapan sains.
Begitulah. Tujuan, hakekat, struktur, metoda, proses dan fungsi sains yang diuraikan di atas itulah yang secara informal diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Semuanya tak ada yang aneh, sampai pada paruh kedua abad yang lalu muncul berbagai kritik dari berbagai pihak di luar kalangan ilmuwan yang bersumber pada keresahan akan dampak-dampak negatif penerapan sains yang mulai merebak di paruh kedua abad yang lalu. Analisis dampak-dampak negatif ini merupakan langkah berikutnya islamisasi sains.
Langkah Kedua:
Analisis Dampak Eksternal Negatif Sains
Masih terbayang di benak kita bahwa, di paruh kedua abad ke-20 yang lalu, kita dihantui oleh ancaman terjadinya perang nuklir yang akan menghancurkan planet bumi ini. Bahkan jika semua hulu-ledak nuklir dalam semua rudal yang dibangun selama perang dingin itu secara sekaligus, maka bumi akan hancur puluhan kali. Ledakan itu akan membuat ledakan bom atom sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir pewrang dunia kedua bagaikan mercon anak-anak. Dan semua itu bersumber pada surat rahasia ilmuwan Albert Einstein pada presiden Amerika Serikat untuk membuat bom atom, mengingat Nazi Jerman pada waktu itu diketahui sedang mengusahakan bom yang sama.
Sejarah mencatat bahwa surat itu mencetuskan Proyek Manhattan yang berhasil membuat bom atom pertama di dunia. Eskalasi perlombaan senjata nuklir pasca Perang Dunia II merupakan konsekuensi politik militer global dari aplikasi fisika nuklir di akhir Perang Dunia II itu. Inilah dampak negatif sains yang pertama: pemanfaatannya untuk keperluan senjata pemusnah masal.
Kini masalah perang nuklir itu mungkin sudah mereda dengan runtuhnya Blok Timur yang dipimpin oleh negara adikuasa Uni Soviet Rusia. Namun, senjata pemusnah masal yang berdasarkan ilmu kimia dan biologi terus dikembangkan di berbagai negara. Aplikasi sains untuk pemusnahan masal masih merupakan dampak negatif yang harus dipertimbangkan.
Para ilmuwan biasanya berlindung terhadap kritik dari luar terhadap sains yang berdasarkan penggunaan sains menjadi senjata pemusnah dengan mengatakan sains itu netral, begitu juga teknologi yang merupakan penerapan sains.
Teknologi itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia. Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur, namun dia bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan bakar fosil. Namun bencana kebocoran radiasi dari reaktor-reaktor nuklir, seperti di Chernobyl misalnya, membuat kritikus memperluas wilayah serangannya: polusi.
Polusi radiasi nuklir yang berasal dari reaktor nuklir hanyalah sebagian dari polusi industri yang berbahaya terhadap lingkungan hidup. Pada umumnya industri merupakan penerapan sains untuk kesejahteraan manusia, akan tetapi limbah beracun industri menembus rantai kehidupan dan menumpuk secara perlahan-lahan sehingga pada suatu waktu daya peracunnya menjadi efektif. Jika waktu itu tiba, maka akan banyak spesies makhluk akan musnah, dan pada suatu waktu manusia akan mendapat gilirannya.
Namun perusakan lingkungan hidup bukan hanya melalui rantai makanan ekologis, tetapi juga melalui melalui lingkungan fisik secara langsung. Perusakan lingkungan hidup oleh percobaan nulir, pertambangan yang menggaruk permukaan bumi adalah kenyataan sehari-hari masyarakat industri.
Sementara itu, akumulasi molekul CO2 di atmosfer akibat penggunaan bahan bakar fosil berjalan sangat cepat sehingga melampaui daya serap lautan dan hutan-hutan membuat pemanasan global melalui efek rumah kaca. Sebagai akibatnya, sebagian es dari kutub utara dan selatan mencair secara perlahan menambah tinggi permukaan laut.
Efek yang lain dari pemanasan global adalah penguapan metan yang selama ini membeku di tundra di Kanada dan Rusia. Padahal peningkatan kuantitas gas metan di atmosfer hanya akan meningkatkan efek rumah kaca sehingga timbul lingkaran umpan-balik positif yang tak terkendali.
Lingkaran umpan balik positif ini bukan hanya berlaku untuk gas metan, tetapi juga untuk uap air yang meningkat karena pemanasan air laut secara global. Peningkatan kadar uap air udara juga merupakan penyebab efek rumah kaca menjadi-jadi.
Pemanasan laut, terutama di daerah tropis menyebabkan bertambahnya jumlah dan kuatnya badai sehingga terjadi perubahan cuaca yang tak teramalkan. El Nino dan La Nina mengacak-acak pola tanam para petani dan produktivitas pangan dunia. Bencana alam kemarau panjang di khatulistiwa dan kebekuan di daerah subtropis menjadi tak teramalkan.
Namun kesengsaraan lingkungan hidup bukan hanya berasal dari pembuangan gas karbon dioksida saja, akan tetapi juga oleh pembuangan gas karbonfluorokhlorida atau CFC yang bersumber pada gas freon alat pendingin untuk lemari es dan AC, di rumah-rumah dan dikendaraan. Molekul-molekul CFC merusak lapisan ozon di stratosfer yang selama ini berfungsi sebagai pelindung kehidupan bumi dari sinar ultraviolet yang berlebihan. Perluasan lobang ozon dikutub utara dan selatan secara cepat merupakan bahaya lain yang mengancam kehidupan di bumi.
Efek sinar ultraviolet pada kulit dan mata manusia merupakan ancaman yang menyakitkan, namun efek pada makhluk-makhluk hidup lain sangat memprihatinkan. Lebah-lebah yang matanya rusak akan merupakan polinator tanaman yang tidak efektif.
Sementara itu efek sinar ultraviolet pada ujung tunas tumbuh-tumbuhan sungguh mengenaskan. Tunas tanaman tidak akan mencapai kematangannya sehingga tidak bisa membiak. Begitu juga efeknya pada fitoplankton di laut juga luar biasa, karena mereka tidak memiliki kulit pelindung. Kehancuran mereka akan mengakibatkan pemotongan lingkaran makanan ekologis bumi.
Tampaknya dampak-dampak yang menyakitkan ini tidak seharusnya dituduhkan pada sains itu sendiri kecuali pada teknologi yang merupakan penerapannya, namun seharusnya pada proses industrialisasi yang bersumber pada keserakahan manusia sebagai produsen dan konsumen.
Sains justru dapat menyumbangkan penelitiannya untuk mencari bahan- bahan substitusi bagi bahan bakar dan bahan pendingin industri.
Namun, sains dan teknologi adalah dua komponen yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi masyarakat. Loloh balik positip antara teknologi dan sains di satu pihak di samping hal sama antara teknologi dan ekonomi merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah. Karena itu para ilmuwan harus ikut bertanggung jawab atas bencana lingkungan yang dibawa oleh kemajuan teknologi dan ekonomi.
Akan tetapi bencana lingkungan hidup biologis bukanlah satu-satunya dampak negatif tak langsung dari perkembangan sains. Belakangan banyak kritikus sains memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek sosial yang dirusak oleh perkembangan sains, teknologi dan ekonomi. Industrialisasi telah mendorong urbanisasi yang mengundang penduduk desa untuk berbodong- bondong pindah ke kota.
Urbanisasi itu sendiri bukanlah hal yang negatif, namun tak dapat dibantah bahwa urbanisasi menimbulkan sejumlah masalah. Individualisasi yang dipicu oleh tata pemukiman dan pola kerja manusia urban, membuat masyarakat menjadi terfragmentasi dan teralienasi. Fragmentasi dan alienasi di keluarga di satu pihak, dan kompetisi yang berat di lain pihak, menimbulkan ketegangan psikologis yang sering berujung pada penyalah-gunaan obat- obatan yang dibuat oleh industri kimia.
Penyalahgunaan obat-obatan narkotik dan psikotropik, tentunya tak dapat dituduhkan pada pembuat obat-obatan itu sendiri, karena hal itu dipicu oleh tuntutan psikologi para pemakai dan tutuntan ekonomis para pengedarnya.
Namun, kenyataan bahwa kedua tuntutan itu bersumber pada industrialisasi yang pada gilirannya bersumber pada kemajuan teknologi dan perkembangan sains, membuat para kritikus sains menjadi lebih kritis terhadap sains dan membuat para ilmuwan yang prihatin mulai mempertanyakan: apa yang salah pada sains itu sendiri? Inilah langkah ketiga islamisasi sains.
Langkah Ketiga:
Analisis Kritis Fondasional Sains
Kita dapat mengelompokkan kritik-kritik itu berdasarkan pandangan dunia yang mereka yakini. Mereka itu terdiri dari para agamawan, para filsuf dan para ideolog. Karena itu kritik-kritik mereka kita kelompokkan menjadi kritik teologis, kritik filosofis dan kritik ideologis. Marilah kita periksa kritik-kritik mereka itu satu persatu. Bagaimana mungkin sains yang pada dasarnya bertujuan baik itu dianggap sebagai sumber semua dampak negatif teknologi. Kita mulai dengan kritik teologis.
Para agamawan melihat bahwa sains mempunyai sebuah kesalahan besar. Dampak-dampak negatif itu muncul karena kesalahan ini. Kesalahan ini adalah pengabaian realitas-realitas spiritual dari pembahasan pengetahuan ilmiah. Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur itu dibuang dari
wacana sains kealaman dan kemasyarakatan. Begitu juga alam gaib dan roh manusia sama sekali tidak diperhatikan. Dengan perkataan lain sains itu bersifat materialistis. Singkatnya, landasan filsafat sains adalah materialisme yang atheistik.
Para filosof juga mempunyai kritik mereka sendiri. Para fenomenolog yang diikuti oleh para eksistensialis, melihat sains sebagai sumber petaka sosial karena pandangan reduksionisme yang menyamaratakan manusia dengan benda-benda alam lainnya. Padahal, menurut mereka, pengetahuan manusia mengenai dirinya bersifat langsung dan kaya yang menjadi miskin ketika direduksi menjadi sekumpulan pembacaan angka-angka hasil pengamatan eksperimental. Jadi tidak mengherankan jika kesengsaraan manusia timbul begitu sains diterapkan menjadi teknologi.
Tentu saja kritik para filosof itu bersifat akademis dan jarang didengar oleh ilmuwan secara langsung, namun kritik para ideolog adalah suara lantang di tengah masyarakat. Kaum ideolog adalah mereka yang menjadikan filsafat tertentu menjadi dasar untuk melakukan gerakan sosial. Kritik-kritik mereka lebih sulit ditangkis ketimbang kritik-kritik para teolog dan para filsuf. Mereka itu dapat kita kelompokan menjadi kaum neomarxis, kaum ekologis, kaum feminis dan kaum etnoreligius.
Kaum neo-marxis melihat sains yang dikatakan rasional itu sebagai sebuah kekeliruan, karena sains itu tidak seluruhnya rasional. Rasionalitas sains bersifat terbatas karena rasionalitas sains hanya bersifat instrumental. Rasionalitas instrumental sains cenderung untuk mencari apa yang dibutuhkan oleh teknologi yang pada gilirannya diarahakan oleh kepentingan- kepentingan politik ekonomi kapitalisme. Padahal disamping rasionalitas instrumental terdapat rasionalitas komunikatif yang diperlukan proses demokrasi dalam rangka melihat realitas sosial kemanusiaan secara lebih utuh menyeluruh.
Kritik kaum neomarxis ini diperkuat oleh kritik kaum feminis. Kaum feminis juga membongkar asumsi-asumsi dibalik asumsi-asumsi sains. Kesalahan sains bukan hanya pada rasionalitas yang terbatas, tetapi pada rasionalitas itu sendiri. Penekanan pada rasionalitas itu sendiri merupakan bias patriarki yang melandasi kapitalisme yang diabdi oleh teknologi sebagai penerapan sains. Rasionalisme yang bersifat analitis dan reduksionis itu mengabaikan fakultas pengetahuan manusia yang bisanya lebih banyak dimiliki oleh kaum perempuan yaitu intuisi. Intuisi yang relasional dan holistik itu telah ditinggalkan oleh para ilmuwan. Tak heran jika kecendrungan dominatif patriarki membayang-bayangi setiap gerak langkah sains.
Demikianlah, gerak langkah kapitalisme yang patriarkis itu melihat alam sebagai obyek yang harus ditaklukkan. Tak heran jika suku primitif Indian Amerika melihat gerak langkah ekono-teknologis kaum kapitalis barat sebagai pemerkosaan terhadap alam atau bumi. Tak mengherankan pula jika kerusakan lingkungan merupakan dampak yang tak dapat dihindarkan dari sains modern.
Yang mengatakan sains modern itu tak islami merujuk pada krisis peradaban kontemporer. Yang mengatakan bahwa sains sekarang tak islami berbeda pendapat mengenai sains mana yang islami. Hosein Nasr misalnya mengatakan sains tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami, sedangkan Ziauddin Sardar mengatakan bahwa sains islami masih harus dikonstruksi setelah membongkar sains modern yang ada.
Sementara itu terdapat pandangan bahwa sains sekarang telah islami karena banyak penemuan-penemuan baru sains bersesuaian dengan konsep-konsep Quran tentang alam. Oleh karena itu yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi sains, tetapi modernisasi ilmu-ilmu kalam, fiqh dan tasawwuf. Kemunduran peradaban Islam bersumber pada ketidak mampuan umat Islam menggali Quran secara ilmiah di satu pihak dan kegagalan mengakomodasi tuntutan-tuntutan zaman sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.
Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami. Tampaknya semua pandangan itu mempunyai argumen-argumen yang sama kuatnya. Namun sains itu bukan hanya sekumpulan pengetahuan, akan tetapi juga meliputi proses yang menghasilkannya. Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.
Oleh karena itu, sains bukanlah suatu produk yang statis yang bisa diwarnai begitu saja oleh pemakainya. Sains Barat modern terus berkembang dan mengalami transformasi sesuai dengan adaptasi sosio-kultural terhadap teknologi sebagai aplikasi sains dan implikasi filosofis penemuan-penemuan teoritik di dalam sains itu sendiri. Sains adalah sebuah bagian dari proses ko- evolusi sosio-teknologi. Di awal milenium ini koevolusi sosio-teknologi mencapai masa transisi baru dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Bersamaan dengan itu sains mengalami transformasi paradigmatik suatu hal yang dilupakan oleh para peserta debat besar sains dan islam..
Itulah sebabnya dalam makalah ini kita tidak akan berdebat mengenai tingkat keislamian sains Barat masa kini, tetapi memeriksa keislamian sains barat masa depan. Dalam pandangan ini transformasi paradigmatik sains barat merupakan bagian dari islamisasi sains. Islamisasi sains adalah kelanjutan rasional dari reorientasi paradigmatik sains yang sedang berjalan sehubungan dengan kritik-kritik eksternal yang mengaitkan dampak-dampak eksternal negatif sains dengan paradigma sains modern. Oleh karena itu tahap-tahap transformasi paradigmatik sains itu kita jadikan langkah-langkah islamisasi menuju sains islami masa depan. Kita mulai dengan langkah pertama.
Langkah Pertama:
Analisis Struktur Internal Sains
Menurut sejarah, sains Barat modern bermula dengan lahirnya mekanika Newton yang kemudian menjadi model untuk cabang-cabang ilmu lainnya. Pada awalnya sains alam adalah cabang filsafat dan disebut filsafat alam. Judul buku Isaac Newton yang berisi teorinya tentang gerak benda-benda berjudul Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam.
Sebelum terbitnya buku itu terjadi perdebatan filosofis di abad XVII antara aliran empirisme Francis Bacon dan aliran Rasionalisme Rene Descartes. Bacon mengatakan bahwea sains modern harus bermula pada fakta-fakta empiris yang bisa diamati, sedangkan teori dibuat berdasarkan generalisasi dari fakta-fakta tersebut. Sementara itu Descartes mengatakan sains harus dibangun seperti geometri Euklides yang terbentuk dari sejumlah aksioma, definisi dan penurunan teorema-teorema secara deduktif dengan menggunakan logika.
Ketika menulis bukunya, Newton mengikuti contoh metoda matematik yang diberikan Descartes. Apa yang dilakukan Newton adalah menambahkan aksioma-aksioma tentang gerak yang dianggapnya melengkapi aksioma- aksioma geometri Euklides. Namun, berbeda dengan Descartes, Newton tidak menganggap aksiomanya sebagai pernyataan yang harus diterima benar dengan sendirinya seperti aksioma-aksioma geometri Euklides.
Aksioma-aksioma baru itu, bagi Newton, adalah hipotesa-hipotesa sementara yang konsekuensi-konsekuensinya harus bisa sesuai dengan pengamatan- pengamatan empiris. Dengan demikian, dia menyelesaian pertikaian fikosofis antara empirisme Francis Bacon dan rasionalisme Rene Descartes dengan mengajukan metoda hipotetiko-deduktif yang dikawinkan dengan metoda eksperimental-induktif. Artinya sains modern bukan sekedar rasional ataupun empiris saja. Hakekat sains adalah pengetahuan rasional empiris atau pengetahuan rasional obyektif.
Tujuan sains modern yang rasional obyektif itu adalah untuk pemanfaatan alam bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Ia bersifat rasional karena sains memiliki komponen pengetahuan teoritis dan sifatnya obyektif menunjukkan bahwa komponen lainnya adalah pengetahuan faktual yang diperoleh melalui eksperimen terhadap obyek-obyeknya.
Pengetahuan faktual terdiri dari dua komponen. Yang pertama adalah metoda eksperimen kuantitatif yang reprodusibel sehingga menjamin obyektivitas data-datanya. Yang kedua adalah fakta-fakta eksperimental yang diperoleh melalui analisis statistik data-data yang diperoleh dari eksperimen. Fakta- fakta itulah yang mencerminkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta
Pengetahuan teoritis terdiri dua komponen. Yang pertama adalah perumusan hukum-hukum alam yang diasumsikan ada pada gejala-gejala alam. Yang kedua terdiri dari prinsip-prinsip logis matematis yang harus dipenuhi oleh hukum-hukum alam itu. Gabungan antara kedua komponen itu membentuk teori mengenai gejala-gejala alam yang direpresentasikan oleh pengetahuan faktual.
Keempat komponen pengetahuan ilmiah menjadi satu ketika terjadi kesesuaian antara ramalan-ramalan teoritis fakta-fakta eksperimental. Proses pengujian kebenaran pengetahuan teoritis melalui hasil-hasil eksperimen disebut proses verifikasi teori. Proses penemuan kesalahan suatu teori melalui percobaan-percobaan eksperimental disebut proses falsifikasi.
Sains tumbuh dengan semakin luasnya pengetahuan faktual yang memverivikasinya. Sains berkembang setelah terjadi pembangunan kembali teori yang difalsifikasi oleh pengamatan-pengamatan eksperimental. Teori berkembang jika digantikan oleh teori baru yang menjadikan teori lama sebagai hal khusus dari teori yang baru tersebut. Jadi sains tumbuh kembang melalui benturan antara pengetahuan teoritis yang rasional dan pengetahuan eksperimental yang obyektif.
Kedua komponen besar pengetahuan ilmiah mempunyai fungsinya masing- masing. Pengetahuan teoritis berfungsi untuk melukiskan menjelaskan dan menfasirkan pengetahuan faktual. Sedangkan pengetahuan faktual berfungsi untuk mengamati dan melukiskan semua fenomena alam yang obyektif. Dengan demikian sains modern mempunyai empat buah fungsi: observasional, deskriptif, eksplanatif dan interpretatif.
Keempat fungsi pengetahuan ilmiah tersebut memungkinkan manusia melakukan prakiraan-prakiraan terhadap apa yang terjadi jika manusia mengintervensi gejala-gejala alam. Hal ini diperlukan untuk mengendalikan dan mengaturnya sehingga mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan manusia. Hal inilah yang dilakukan oleh teknologi sebagai penerapan sains.
Begitulah. Tujuan, hakekat, struktur, metoda, proses dan fungsi sains yang diuraikan di atas itulah yang secara informal diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Semuanya tak ada yang aneh, sampai pada paruh kedua abad yang lalu muncul berbagai kritik dari berbagai pihak di luar kalangan ilmuwan yang bersumber pada keresahan akan dampak-dampak negatif penerapan sains yang mulai merebak di paruh kedua abad yang lalu. Analisis dampak-dampak negatif ini merupakan langkah berikutnya islamisasi sains.
Langkah Kedua:
Analisis Dampak Eksternal Negatif Sains
Masih terbayang di benak kita bahwa, di paruh kedua abad ke-20 yang lalu, kita dihantui oleh ancaman terjadinya perang nuklir yang akan menghancurkan planet bumi ini. Bahkan jika semua hulu-ledak nuklir dalam semua rudal yang dibangun selama perang dingin itu secara sekaligus, maka bumi akan hancur puluhan kali. Ledakan itu akan membuat ledakan bom atom sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir pewrang dunia kedua bagaikan mercon anak-anak. Dan semua itu bersumber pada surat rahasia ilmuwan Albert Einstein pada presiden Amerika Serikat untuk membuat bom atom, mengingat Nazi Jerman pada waktu itu diketahui sedang mengusahakan bom yang sama.
Sejarah mencatat bahwa surat itu mencetuskan Proyek Manhattan yang berhasil membuat bom atom pertama di dunia. Eskalasi perlombaan senjata nuklir pasca Perang Dunia II merupakan konsekuensi politik militer global dari aplikasi fisika nuklir di akhir Perang Dunia II itu. Inilah dampak negatif sains yang pertama: pemanfaatannya untuk keperluan senjata pemusnah masal.
Kini masalah perang nuklir itu mungkin sudah mereda dengan runtuhnya Blok Timur yang dipimpin oleh negara adikuasa Uni Soviet Rusia. Namun, senjata pemusnah masal yang berdasarkan ilmu kimia dan biologi terus dikembangkan di berbagai negara. Aplikasi sains untuk pemusnahan masal masih merupakan dampak negatif yang harus dipertimbangkan.
Para ilmuwan biasanya berlindung terhadap kritik dari luar terhadap sains yang berdasarkan penggunaan sains menjadi senjata pemusnah dengan mengatakan sains itu netral, begitu juga teknologi yang merupakan penerapan sains.
Teknologi itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia. Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur, namun dia bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan bakar fosil. Namun bencana kebocoran radiasi dari reaktor-reaktor nuklir, seperti di Chernobyl misalnya, membuat kritikus memperluas wilayah serangannya: polusi.
Polusi radiasi nuklir yang berasal dari reaktor nuklir hanyalah sebagian dari polusi industri yang berbahaya terhadap lingkungan hidup. Pada umumnya industri merupakan penerapan sains untuk kesejahteraan manusia, akan tetapi limbah beracun industri menembus rantai kehidupan dan menumpuk secara perlahan-lahan sehingga pada suatu waktu daya peracunnya menjadi efektif. Jika waktu itu tiba, maka akan banyak spesies makhluk akan musnah, dan pada suatu waktu manusia akan mendapat gilirannya.
Namun perusakan lingkungan hidup bukan hanya melalui rantai makanan ekologis, tetapi juga melalui melalui lingkungan fisik secara langsung. Perusakan lingkungan hidup oleh percobaan nulir, pertambangan yang menggaruk permukaan bumi adalah kenyataan sehari-hari masyarakat industri.
Sementara itu, akumulasi molekul CO2 di atmosfer akibat penggunaan bahan bakar fosil berjalan sangat cepat sehingga melampaui daya serap lautan dan hutan-hutan membuat pemanasan global melalui efek rumah kaca. Sebagai akibatnya, sebagian es dari kutub utara dan selatan mencair secara perlahan menambah tinggi permukaan laut.
Efek yang lain dari pemanasan global adalah penguapan metan yang selama ini membeku di tundra di Kanada dan Rusia. Padahal peningkatan kuantitas gas metan di atmosfer hanya akan meningkatkan efek rumah kaca sehingga timbul lingkaran umpan-balik positif yang tak terkendali.
Lingkaran umpan balik positif ini bukan hanya berlaku untuk gas metan, tetapi juga untuk uap air yang meningkat karena pemanasan air laut secara global. Peningkatan kadar uap air udara juga merupakan penyebab efek rumah kaca menjadi-jadi.
Pemanasan laut, terutama di daerah tropis menyebabkan bertambahnya jumlah dan kuatnya badai sehingga terjadi perubahan cuaca yang tak teramalkan. El Nino dan La Nina mengacak-acak pola tanam para petani dan produktivitas pangan dunia. Bencana alam kemarau panjang di khatulistiwa dan kebekuan di daerah subtropis menjadi tak teramalkan.
Namun kesengsaraan lingkungan hidup bukan hanya berasal dari pembuangan gas karbon dioksida saja, akan tetapi juga oleh pembuangan gas karbonfluorokhlorida atau CFC yang bersumber pada gas freon alat pendingin untuk lemari es dan AC, di rumah-rumah dan dikendaraan. Molekul-molekul CFC merusak lapisan ozon di stratosfer yang selama ini berfungsi sebagai pelindung kehidupan bumi dari sinar ultraviolet yang berlebihan. Perluasan lobang ozon dikutub utara dan selatan secara cepat merupakan bahaya lain yang mengancam kehidupan di bumi.
Efek sinar ultraviolet pada kulit dan mata manusia merupakan ancaman yang menyakitkan, namun efek pada makhluk-makhluk hidup lain sangat memprihatinkan. Lebah-lebah yang matanya rusak akan merupakan polinator tanaman yang tidak efektif.
Sementara itu efek sinar ultraviolet pada ujung tunas tumbuh-tumbuhan sungguh mengenaskan. Tunas tanaman tidak akan mencapai kematangannya sehingga tidak bisa membiak. Begitu juga efeknya pada fitoplankton di laut juga luar biasa, karena mereka tidak memiliki kulit pelindung. Kehancuran mereka akan mengakibatkan pemotongan lingkaran makanan ekologis bumi.
Tampaknya dampak-dampak yang menyakitkan ini tidak seharusnya dituduhkan pada sains itu sendiri kecuali pada teknologi yang merupakan penerapannya, namun seharusnya pada proses industrialisasi yang bersumber pada keserakahan manusia sebagai produsen dan konsumen.
Sains justru dapat menyumbangkan penelitiannya untuk mencari bahan- bahan substitusi bagi bahan bakar dan bahan pendingin industri.
Namun, sains dan teknologi adalah dua komponen yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi masyarakat. Loloh balik positip antara teknologi dan sains di satu pihak di samping hal sama antara teknologi dan ekonomi merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah. Karena itu para ilmuwan harus ikut bertanggung jawab atas bencana lingkungan yang dibawa oleh kemajuan teknologi dan ekonomi.
Akan tetapi bencana lingkungan hidup biologis bukanlah satu-satunya dampak negatif tak langsung dari perkembangan sains. Belakangan banyak kritikus sains memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek sosial yang dirusak oleh perkembangan sains, teknologi dan ekonomi. Industrialisasi telah mendorong urbanisasi yang mengundang penduduk desa untuk berbodong- bondong pindah ke kota.
Urbanisasi itu sendiri bukanlah hal yang negatif, namun tak dapat dibantah bahwa urbanisasi menimbulkan sejumlah masalah. Individualisasi yang dipicu oleh tata pemukiman dan pola kerja manusia urban, membuat masyarakat menjadi terfragmentasi dan teralienasi. Fragmentasi dan alienasi di keluarga di satu pihak, dan kompetisi yang berat di lain pihak, menimbulkan ketegangan psikologis yang sering berujung pada penyalah-gunaan obat- obatan yang dibuat oleh industri kimia.
Penyalahgunaan obat-obatan narkotik dan psikotropik, tentunya tak dapat dituduhkan pada pembuat obat-obatan itu sendiri, karena hal itu dipicu oleh tuntutan psikologi para pemakai dan tutuntan ekonomis para pengedarnya.
Namun, kenyataan bahwa kedua tuntutan itu bersumber pada industrialisasi yang pada gilirannya bersumber pada kemajuan teknologi dan perkembangan sains, membuat para kritikus sains menjadi lebih kritis terhadap sains dan membuat para ilmuwan yang prihatin mulai mempertanyakan: apa yang salah pada sains itu sendiri? Inilah langkah ketiga islamisasi sains.
Langkah Ketiga:
Analisis Kritis Fondasional Sains
Kita dapat mengelompokkan kritik-kritik itu berdasarkan pandangan dunia yang mereka yakini. Mereka itu terdiri dari para agamawan, para filsuf dan para ideolog. Karena itu kritik-kritik mereka kita kelompokkan menjadi kritik teologis, kritik filosofis dan kritik ideologis. Marilah kita periksa kritik-kritik mereka itu satu persatu. Bagaimana mungkin sains yang pada dasarnya bertujuan baik itu dianggap sebagai sumber semua dampak negatif teknologi. Kita mulai dengan kritik teologis.
Para agamawan melihat bahwa sains mempunyai sebuah kesalahan besar. Dampak-dampak negatif itu muncul karena kesalahan ini. Kesalahan ini adalah pengabaian realitas-realitas spiritual dari pembahasan pengetahuan ilmiah. Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur itu dibuang dari
wacana sains kealaman dan kemasyarakatan. Begitu juga alam gaib dan roh manusia sama sekali tidak diperhatikan. Dengan perkataan lain sains itu bersifat materialistis. Singkatnya, landasan filsafat sains adalah materialisme yang atheistik.
Para filosof juga mempunyai kritik mereka sendiri. Para fenomenolog yang diikuti oleh para eksistensialis, melihat sains sebagai sumber petaka sosial karena pandangan reduksionisme yang menyamaratakan manusia dengan benda-benda alam lainnya. Padahal, menurut mereka, pengetahuan manusia mengenai dirinya bersifat langsung dan kaya yang menjadi miskin ketika direduksi menjadi sekumpulan pembacaan angka-angka hasil pengamatan eksperimental. Jadi tidak mengherankan jika kesengsaraan manusia timbul begitu sains diterapkan menjadi teknologi.
Tentu saja kritik para filosof itu bersifat akademis dan jarang didengar oleh ilmuwan secara langsung, namun kritik para ideolog adalah suara lantang di tengah masyarakat. Kaum ideolog adalah mereka yang menjadikan filsafat tertentu menjadi dasar untuk melakukan gerakan sosial. Kritik-kritik mereka lebih sulit ditangkis ketimbang kritik-kritik para teolog dan para filsuf. Mereka itu dapat kita kelompokan menjadi kaum neomarxis, kaum ekologis, kaum feminis dan kaum etnoreligius.
Kaum neo-marxis melihat sains yang dikatakan rasional itu sebagai sebuah kekeliruan, karena sains itu tidak seluruhnya rasional. Rasionalitas sains bersifat terbatas karena rasionalitas sains hanya bersifat instrumental. Rasionalitas instrumental sains cenderung untuk mencari apa yang dibutuhkan oleh teknologi yang pada gilirannya diarahakan oleh kepentingan- kepentingan politik ekonomi kapitalisme. Padahal disamping rasionalitas instrumental terdapat rasionalitas komunikatif yang diperlukan proses demokrasi dalam rangka melihat realitas sosial kemanusiaan secara lebih utuh menyeluruh.
Kritik kaum neomarxis ini diperkuat oleh kritik kaum feminis. Kaum feminis juga membongkar asumsi-asumsi dibalik asumsi-asumsi sains. Kesalahan sains bukan hanya pada rasionalitas yang terbatas, tetapi pada rasionalitas itu sendiri. Penekanan pada rasionalitas itu sendiri merupakan bias patriarki yang melandasi kapitalisme yang diabdi oleh teknologi sebagai penerapan sains. Rasionalisme yang bersifat analitis dan reduksionis itu mengabaikan fakultas pengetahuan manusia yang bisanya lebih banyak dimiliki oleh kaum perempuan yaitu intuisi. Intuisi yang relasional dan holistik itu telah ditinggalkan oleh para ilmuwan. Tak heran jika kecendrungan dominatif patriarki membayang-bayangi setiap gerak langkah sains.
Demikianlah, gerak langkah kapitalisme yang patriarkis itu melihat alam sebagai obyek yang harus ditaklukkan. Tak heran jika suku primitif Indian Amerika melihat gerak langkah ekono-teknologis kaum kapitalis barat sebagai pemerkosaan terhadap alam atau bumi. Tak mengherankan pula jika kerusakan lingkungan merupakan dampak yang tak dapat dihindarkan dari sains modern.
Sejumlah spesies makhluk hidup musnah sebagai akibat perambahan hutan, gunung dan laut. Dari fakta ini kaum pencinta lingkungan hidup melihat sumber filosofis dari kegagalan sains untuk sepenuhnya mencapai tujtuannya. Kaum ekologis melihat bahwa sains bukan saja bersifat rasional yang merupakan ciri manusia sebagai makhluk hidup tertinggi, tetapi sains itu bersifat antroposentris seperti terlihat dari definisi tujuannya. Netralisme sains adalah sebuah ilusi belaka.
Tabel 1:
Paradigma Materialistik Sains Modern
Paradigma
Epistemologis
|
Paradigma
Aksiologis
|
Paradigma
Ontologis
|
|
Rasional
|
Rasionalisme
|
Universalisme
antroposentrik
|
Reduksionisme
hukum
|
Empiris
|
Operasionalisme
|
Humanisme
|
Mekanisme
deterministik
|
Obyektif
|
Obyektivisme
|
Netralisme
|
Materialisme
atomistik
|
Jadi antroposentrisme rasionalistis para kapitalis yang patriarkis itulah yang tersembunyi dalam praktek sehari-hari sains seperti yang ditemukan oleh kaum neomarxis, feminis dan ekologis. Penemuan mereka ini dipertajam oleh kaum etnoreligius yang menggabungkan kritik-kritik ideologis tersebut dengan kritik teologis dan filosofis.
Antroposentrisme rasionalis dan kapitalisme patriarkis itu merupakan ciri dominan peradaban barat modern sekularistik yang merupakan ibu kandung sains modern yang meninggalkan agama dari kehidupan budaya sehari-hari. Oleh karena itu sains Barat yang disebut sebagai sains modern itu harus diganti oleh ilmu-sains etnoreligius tradisional seperti sains Cina, sains Hindu, sains Islam dan lain sebagainya. Untuk itu kita periksa apa yang dilakukan di Barat menghadapi kritik-kritik tersebut sebagai langkah keempat islamisasi sains.
Langkah Keempat:
Re-orientasi Holistik Paradigma Sains
Tentu saja kritik-kritik dari luar kalangan sains pada rasionalitas dan obyektivitas sebagai jantung sains modern tidak bisa diabaikan begitu saja. Rasionalisme dan empirisme itu merupakan asumsi filosofis di bidang pengetahuan atau epistemologi. Filsafat yang lebih menyeluruh melibatkan ontologi, yaitu filsafat wujud mengenai obyek-obyek pengetahuan dan aksiologi, yaitu filsafat nilai-nilai yang dianut oleh manusia yang mengetahui sebagai subyek.
Sebenarnya di dasar sains modern, sebagai salah satu cabang dari peradaban, terdapat seperangkat asumsi-asumsi filosofis lain, juga implisit, yang mendampingi asumsi-asumsi epistemologis sains. Keseluruhan asumsi-asumsi filosofis itulah yang disebut sebagai paradigma. Dengan demikian, sesuai dengan struktur filsafat secara umumnya, paradigma sains mempunyai tiga aspek, yaitu aspek-aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Aspek epistemologis itulah yang telah kita periksa dalam analisis struktur internal sains yang kita lakukan pada awal pembahasan. Aspek-aspek ontologis dan aksiologis baru muncul ke permukaan setelah kita membaca kritikus-kritikus sains dari luar kalangan ilmuwan. Bagi para ilmuwan yang tak terlatih berfikir mendasar, mengakar dan menyeluruh, kritik-kritik seperti itu cenderung dipandang sebagai serangan terhadap eksistensi sains
Itulah sebabnya, kenapa sebagian besar dari ilmuwan cenderung untuk bersikap reaktif terhadap kritik-kritik radikal itu. Pada dasarnya mereka yang konservatif itu akan menyangkal semua tuduhan itu sebagai suatu yang tak berdasar yang diada-adakan. Untungnya tidak semua ilmuwan berpikiran seperti itu. Sebagian kecil dari mereka mencari solusi yang mengakomodasi kritik-kritik tersebut. Mereka itu adalah kaum ilmuwan holistik.
Kaum ilmuwan holistik misalnya, melihat bahwa kritik kaum teologis itu ada benarnya. Sains telah mengabaikan aspek-aspek nonmaterial dalam studinya yaitu informasi dan nilai-nilai. Padahal, aliran dan tumpukan informasi adalah aspek non-fisik dari materi telah cenderung menjadi lebih besar dan kompleks dalam evolusi jagatraya. Evolusi kosmologi memang hanya menyangkut restrukturisasi dan resirkulasi materi dan energi.
Akan tetapi, dalam evolusi biologi, sebagai kelanjutan evolusi kosmologi, proses restrukturasi dan resirkulasi informasi menjadi dominan. Dalam evolusi antropologi yang kultural, kelanjutan evolusi biologi, peran proses-proses informasi menjadi dominan dan mulai melibatkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu berkembang dari yang partikularistik individual menuju yang universal. Jadi wawasan evolusioner yang sistemik bisa menggantikan materialisme mekanistik sebagai komponen ontologis paradigma baru sains. Wawasan evolusi semesta yang sistemik kreatif juga juga bisa menggantikan prinsip atomisme reduksionistik dalam paradigma ontologis sains modern.
Begitu diterimanya paradigma evolusioner sistemik yang holistik ini, paradigma epistemologis yang lama itupun harus ditinggalkan. Semakin kompleks suatu sistem semakin sulit untuk direduksi menjadi sesuatu yang material dan energetik belaka. Evolusi antropologis kultural pada dasarnya merupakan proses peningkatan kesadaran manusia mengiringi perkembangan kompleksitas institusional masyarakat mengikuti evolusi kompleksifikasi teknologi sebagai organ-organ eksosomatis manusia yang semakin lama semakin kompleks.
Kesadaran manusia, seperti kata kritikus fenomenolog eksistensialis, hanya bisa diketahui secara langsung oleh kesadaran itu sendiri. Oleh karena itu, pengalaman mistikus dan para nabi di seluruh penjuru dunia, sebagai puncak kesadaran kemanusiaan, dapat digunakan sebagai model, untuk menyusun sains tentang manusia yang lebih utuh dan menyeluruh, mengantikan perilaku organisme-organisme subhuman, apa lagi mesin-mesin inorganik. Jadi, pengetahuan intuitif eksperiensial manusia dapat ditambahkan sebagai pelengkap pengetahuan rasional empiris manusia. Dengan demikian didapat penyempurnaan paradigma epistemologi sains seperti yang diharapkan kaum feminis dan para kritikus filsafat eksistensialisme fenomenologis.
Lebih dari itu, bentuk intuisi tertinggi manusia adalah pengalaman mistik yang menangkap Kesatuan Realitas di balik keragaman bentuk benda dan kehidupan yang sebenarnya merupakan manifestasi Kehidupan Sadar yang Tunggal. Dengan demikian, dimensi keagamaan seperti itu dapat dikembalikan ke dalam komponen aksiologis paradigma sains, di mana antroposentrisme digantikan biosentrisme yang lebih meluas berdasarkan suatu teosentrisme yang lebih mendalam. Oleh karenanya nilai-nilai universal, yang diajarkan semua nabi dan mistikus sepanjang zaman di seluruh dunia, dapat diintegrasikan kedalam paradigma aksiologis sains. Oleh karena itu tak perlu dilakukan pemunduran paradigma sains modern ke sains tradisional yang religius seperti yang diharapkan oleh kritikus etnoreligius.
Disamping itu peradaban manusia, dalam pandangan holistik evolusioner, merupakan bentuk kehidupan yang lebih tinggi di mana ilmu pengetahuan adalah bagian dari kesadaran kolektifnya dan teknologi adalah organ kehidupan transhuman baginya. Oleh karena itu terkandung didalamnya tanggung jawab yang besar untuk menunjang keanekaragaman dan kesalingbergantungan bentuk-bentuk kehidupan di muka bumi sebagai bagian dari keberlangsungan sistem kehidupan planet bumi yang menyatu. Sains merupakan bagian kesadaran kolektif planeter bumi. Dengan demikian loyalitas implisit ilmuwan pada sistem kapitalisme global, seperti yang diungkapkan oleh para kritikus neomarxis, dapat digantikan dengan loyalitas pada sistem kehidupan planeter bumi yang lebih menyeluruh.
Tabel 2
Paradigma Holistik Sains Pasca-modern
Aspek
Realitas
|
Epistemologi
|
Aksiologi
|
Ontologi
|
Mental informatik
(matematis
Logis)
|
Prinsip
|
Universal
|
Prinsip/nilai
holarkis
|
Teori & Fakta
|
Kultural
|
Program/hukum kreatif
|
|
Material energetik
(operasional kuantitatif)
|
Observasi & Eksperimen
|
Sosial
|
Proses/fenomena evolusioner
|
Instrumen &
Obyek
|
Instrumental
|
Benda/obyek sistemik
|
Dengan demikian dapatlah disimpulkan sekarang bahwa, untuk menghadapi tantangan-tantangan multidimensional multiskalar dengan peningkatan kecepatan, kompleksitas dan daya jangkau teknologi di masa depan ini, paradigma sains modern lama yang biasanya dihayati para ilmuwan secara implisit itu perlu diperluas dan diperdalam dan dihayati secara eksplisit. Paradigma sistemik evolusioner kreatif holistik, yang sedang tumbuh kembang di kalangan ilmuwan mancanegara, mungkin dapat diberi
kesempatan menjadi paradigma alternatif yang tentunya masih harus disempurnakan lebih lanjut. Salah satu upaya ke sana adalah meletakkan paradigma sains baru itu dalam pandangan yang integralistik di mana pandangan holitik itu diintegrasikan lebih lanjut dengan dimensi transendental agama-agama besar dunia. Salah satu agama besar di dunia adalah agama Islam yang dalam sejarahnya melahirkan ilmu-ilmu islam dengan paradigma integralis. Integralisasi sains adalah langkah kelima islamisasi sains.
Langkah Kelima:
Integralisasi Islami Paradigma Sains
Dalam peradaban Islam ilmu-ilmu kealaman tak dipisahkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan. Dalam terminologi modern ketiga jenis ilmu itu disebut sebagai sains, filsafat dan teologi. Paradigma holistik mengintegrasikan sains yang rasional empiris dan filsafat yang logis intuitif dalam suatu kesatuan ilmu yang empiris-rasional-intuitif. Intuisi tertinggi muncul dalam bentuk wahyu para nabi yang kemudian diekspresikan secara verbal dan dikodifikasi secara tekstual dalam bentuk kitab-kitab suci.
Islam berkeyakinan bahwa kitab suci terakhir adalah Quran al-Karim, oleh karena itu paradigma holisme sinergetik barat sebagai kelanjutan paradigma materialisme mekanistik harus dikembalikan pada landasan revelasional sehingga terjadi sebuah proses islamisasi sains dari bawah ke atas, dari fondasi filosofisnya ke aplikasi praktisnya. Jadi pada intinya islamisasi sains adalah integralisasi semua ilmu dengan meletakkannya dalam hirarki seperti yang terdapat dalam ilmu-ilmu Islam tradisional.
Pada dasarnya semua ilmu harus berdasarkan hikmat yang berdasarkan wahyu seperti yang dinyatakan dalam akhir ayat 113 surat an-Nisa . Dengan demikian kesatuan ilmu-hikmat-kitab, atau sains-filsafat-agama adalah kesatuan yang hirarkis yang menggantikan kesatuan polar antara pengetahuan sains dan kearifan filsafat seperti yang diyakini para penganut paradigma holistik Barat pasca-modern. Dengan demikian sains Islam bukan sekedar empiris-rasional-intuitif tetapi empiris-rasional-intuitif-revelasional.
Secara tradisional islami, empirisme ilmu berkaitan dengan jism dan nafs, rasional berkaitan dengan ‘aql, intuitif berkaitan dengan qalb dan revelasional berkaitan dengan ruh. Jadi kesatuan hirarki ilmu islami berkaitan dengan kesatuan integral manusia sebagai subyek yang mengetahui yang terdiri dari jism-nafs-‘aql-qalb-ruh. Dalam bahasa modern kesatuan itu berkaitan erat dengan kesatuan materi-energi-informasi-nilai dengan sumber kesatuan transendental nilai-nilai tersebut.
Secara struktural ilmu islami terdiri dari ‘ainal yaqin yang bersifat eksperimental observasional, ‘ilmal yaqin yang bersifat teoretikal linguistik dan haqqal yaqin yang bersifat intuitif revelasional. Ketiga komponen ilmu islam itu berkaitan dengan tiga organon ilmu yaitu al-sama’ , al-abshara dan al-af’idah seperti yang dinyatakan dalam ayat 9 surat as-Sajadah Ketiga
komponen dan organon ilmu itu juga tersusun secara hirarkis integral dari yang material-energetik lewat yang informatik-valuasional hingga ke yang spiritual. Inilah paradigma ontologi integralis sains islami.
Instrumen-instrumen ilmu bersifat material, eksperimen ilmu bersifat energetik, fakta dan teori ilmu bersifat informatik dan prinsip dan norma ilmu bersifat valuasional. Instrumen itu adalah perpanjangan organ jism, eksperimen merupakan kelanjutan kegiatan eksplorasi instinktif nafs, teori merupakan produk nalar ‘aql dan prinsip dan nilai ilmu merupakan hasil refleksi dan meditasi kebersihan qalb sebagai organ dari ruh manusia. Dengan demikian ilmu merupakan instrumen manusia untuk mengaktualisasikan kebebasan spiritualnya dalam pemenuhan kebutuhan materialnya.
Ilmu itu merupakan bagian dari kegiatan transformatif manusia terhadap lingkungannya dalam rangka mensyukuri nikmat karunia Allah. Oleh karena itu ilmu mengenai benda-benda yang disebut sebagai sains tak dapat dipisahkan dari ilmu mengenai cara yang disebut sebagai teknologi. Teknologi sebagai penerapan sains juga terdiri dari empat komponen atau strata eksistensial yang berkaitan dengan materi, energi, informasi dan nilai.
Produk-produk teknologi merupakan komponen materialnya, proses-proses produksi, konstruksi dan operasi teknologi merupakan komponen energetiknya, pengetahuan metodologi dan disain teknologi merupakan komponen informatiknya sedangkan nilai-nilai efisiensi, efektivitas dan optimalitas teknologi merupakan komponen valuasionalnya. Komponen spiritual teknologi tak lain dari fungsionalitasnya sebagai ajang kreativitas manusia.
Teknologi merupakan bentuk penerapan ilmu sehingga dapat dikatakan sebagai ilmu amaliah di satu pihak atau sebagai amal ilmiah di lain pihak. Oleh karena itu teknologi dan sains islami tak dapat dipisahkan dari nilai-nilai etika yang berdasarkan nilai-nilai sosial kemanusiaan, nilai-nilai kultural kemasyarakatan, nilai-nilai universal kealaman dan nilai-nilai transendental keagamaan di samping nilai-nilai instrumental keteknikan. Nyatanya terdapat perjenjangan nilai-nilai instrumental-sosial-kultural-universal-transendental di mana nilai yang tersebut terdahulu harus serasi dengan nilai yang disebut sesudahnya.
Selanjutnya dapat kita dapat melakukan integralisasi aksiologi holistik yang berjenjang itu dengan hirarki sumber-sumber hukum fiqh. Pertama-tama kita harus melengkapi hirarki nilai-nilai itu dengan yang transendental yang bersumber pada Quran. Tahap berikutnya adalah mengidentifikasi nilai-nilai universal dalam sunnah rasul sebagai prinsip-prinsip kerja seorang ilmuwan. Selanjutnya mengidentifikasi nilai-nilai kultural secara ijtihad dan mengidentifikasi nilai-nilai sosial sebagai ‘ijma’ dan akhirnya mengidentifikasi nilai-nilai instrumental sebagai ‘urf.
Dalam sains islami, paradigma epistemologis dan paradigma aksiologis tak bisa dipisahkan dari paradigma ontologis. Paradigma ontologis sains islami
juga bersifat integralis. Seperti dalam paradigma ontologi baru sains holistik barat, dalam materi adalah bentuk statik dari energi yang tersimpan secara struktural berjenjang yang merupakan produk proses evolusioner energetik bertahap. Hanya saja sains islami melihat struktur-struktur material itu merupakan khalqillah atau makhluk ciptaan Allah sebagai produk proses- proses energetik yang merupakan af’alullah atau sunatullah. Dengan perkataan lain paradigma ontologis tak bisa dipisahkan dari teologi Islam.
Dalam interpretasi teologis terhadap ontologi sains, proses energetik evolusioner itu merupakan manifestasi kreativitas informatik hukum-hukum alam yang merupakan perintah-perintahNya atau ‘Amrullah. ‘Amrullah itu pada gilirannya merupakan manifestasi sifat-sifatNya atau Sifatullah yang mewujud dalam bentuk prinsip-prinsip holarki nilai-nilai yang implisit dalam hukum-hukum alam dan budaya manusia. Akhirnya Sifatullah yang banyak itu merupakan atribut-atribut dari Dzatullah Substansi Mutlak Yang Satu yang merupakan pencipta alam semesta.
Kini dapat disimpulkan bahwa dalam sains islami terdapat identifikasi hirarki ontologis benda-gejala-hukum-prinsip alam dengan Maha Penciptanya, hirarki teologis Khalq-Af’al-‘Amr-Sifat-Dzat Allah swt. Disamping itu terdapat identifikasi hirarki epistemologi obyek-eksperimen-teori-prinsip-sumber dengan hirarki psikologi shufiyah jasmani-nafsi-‘aqli-qalbi-ruhani. Begitu juga terdapat pula identifikasi hirarki aksiologis instrumental-sosial-kultural- universal-transendental dengan hirarki sumber fiqhiyah ‘urf-‘ijma’-‘ijtihad- sunnah-Quran. Pendeknya kesatuan integral epistemologi-ontologi-aksiologi sains identik dengan kesatuan integral ulumuddin tasawwuf-fiqh-kalam
Tabel 3
Paradigma Integral Sains Islami
Epistemologi
shufi
|
Aksiologi
fiqhi
|
Ontologi
tauhidi
|
|
sumber
|
Subyek
ruhani
|
Transendental
qurani
|
Transendensi
Dzatullah
|
nilai
|
Prinsip
qalbi
|
Universal
sunni
|
Holarki
Sifatullah
|
informasi
|
Teori & Fakta
’aqli
|
Kultural
‘ijtihadi
|
Kreativitas
‘Amrullah
|
energi
|
Eksperimen
Nafsi
|
Sosial
‘ijma’i
|
Sirkulasi
Sunnatullah
|
materi
|
Instrumen & Obyek
jasmani
|
Instrumental
’urfi
|
Sistem-sistem
Khalqillah
|
KESIMPULAN
Setelah melakukan analisis kritis struktur, fungsi, metodologi, implementasi dan dampak aplikasi sains modern kita menemukan adanya kelemahan fundamental pada paradigma sains modern. Kemudian kita menyimak apa yang dilakukan ilmuwan-barat sendiri untuk memperbaiki kelemahan tersebut.
Ternyata mereka melakukan reorientasi paradigma dari yang bersifat materialistik menjadi yang bersifat holistik di mana aspek imaterial dianggap sebagai komplemen dari aspek material bukan sebagai derivat belaka.
Pengamatan langsung struktur holistik paradigma alternatif ini menunjukkan bahwa aspek realitas yang transenden masih diabaikan, oleh karena itu kemungkinan besar tidak menyelesaikan problematik krisis multidimensional yang dibawa oleh akselerasi teknologi yang berujung pada krisis eksistensial manusia dihadapkan dengan munculnya mesin-mesin supercerdas yang terintegrasi dengan sistem ekonomi kapitalisme global.
Di sinilah kesempatan kita yang menyadari peranan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin, kita untuk mengimplementasikan aqidah, syari’ah dan thariqah Islam sebagai keseluruhan yang integral ke dalam peradaban teknologi manusia masa depan. Di bidang sains dan teknologi, ternyata ketiga komponen Islam dalam bentuk keilmuannya yang tradisional dapat dijadikan landasan ontologis, aksiologis dan epistemologis sebagai alternatif paradigma integral islami terhadap alternatif paradigma holistik barat pasca-modern.
Dengan demikian apa yang disebut sebagai ulumuddin dapat diintegrasikan kembali dengan ulumuddunya kontemporer berupa ilmu-ilmu kealamanan, kemasyarakatan dan kemanusiaan barat modern. Soalnya sains barat modern itu sebenarnya pada mulanya bersumber dari ilmu-ilmu hikmat tradisional Islam yang mengalami sekularisasi menyusul renesans Eropa pada pertengahan abad terakhir alaf yang lalu. Dampak dari reintegrasi itu akan mempunyai konsekuensi logis praktis pada kedua bentuk ilmu-ilmu tersebut.
Reintegrasi itu akan menuntut reislamisasi sains modern di satu pihak dan rekonseptualisasi ilmu-ilmu keagamaan Islam di lain pihak. Untuk itu diperlukan revitalisasi hikmat Islam sebagai paradigma terpadu ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu keislaman. Sebagai konsekuensinya akan hidup kembali sebuah tradisi peradaban Islam yang terbuka, dinamis dan adaptif sebagai peradaban besar setara dengan peradaban sekuler Barat dan peradaban Konfusian Timur sehingga dapat berdialog mensiasati singularitas teknologi di masa depan secara baik. Mudah-mudahan memang begitulah adanya. Amin ya Rabbal alamin.
*Armahedi Mahzar, Seminar Epistemologi Islam IIIT-Indonesia di Universitas Paramadina Jakarta. Jakarta, 15 Agustus 2002
0 Response to "Menuju Sains Islami Di Masa Depan "
Post a Comment