“In
toxic schools, the elements of culture reinforce negativity. Values and
beliefs are negative. The cultural network works in opposition to
anything positive. Rituals and traditions are phony, joyless, or
counterproductive“ (Deal and Peterson, 1999, p. 119).
KUTIPAN tersebut ingin menggambarkan
betapa berbahayanya budaya sekolah yang buruk dan negatif. Sebagai lawan
dari budaya sekolah yang sehat dan positif, budaya sekolah yang negatif
secara perlahan, tetapi pasti akan membuat semua bangunan struktur
mental komunitas sekolah akan hancur, karena di dalamnya terjadi banyak
kebohongan dan kepura-puraan. Adakah sekolah jenis ini di dalam sistem
pendidikan kita?
Dalam banyak kesempatan, ketika
melakukan interaksi dengan para guru dan kepala sekolah, baik dalam
pelatihan maupun pendampingan program pengembangan kapasitas guru dan
kepala sekolah, saya sering sekali mendapat pertanyaan tentang bagaimana
cara dan memulai sebuah budaya sekolah yang efektif dan efisien.
Meskipun banyak sekolah mengaku memiliki budaya sekolah yang baik,
ketika saya lacak melalui rancangan anggaran belanja sekolah (RAPBS),
tidak sedikit di antara kepala sekolah dan guru yang mengakui betapa
buruknya budaya sekolah mereka. Mengapa RAPBS?
Dalam banyak literatur tentang
manajemen sekolah efektif, memang tak banyak dibahas tentang sisi buruk
bagaimana sekolah merancang dan menggunakan anggaran belanja sekolah
secara sehat dan bertanggung jawab. Kebanyakan yang dibahas dalam
buku-buku manajemen sekolah efektif ialah karakter dan gaya kepemimpinan
kepala sekolah atau school leadership. Meskipun diakui, bahwa
kepemimpinan kepala sekolah sangat memengaruhi bagaimana sebuah sekolah
akan dikelola serta budaya sekolah akan diterapkan, tetapi karakter
kepemimpinan hanya menyumbang 30% dari total kesuksesan sebuah
sekolah.Selebihnya ialah persoalan manajerial, sistem, dan aturan tata
kelola sekolah, termasuk di antaranya ialah bagaimana sekolah
membelanjakan anggaran belanjanya secara transparan dan akurat.
Untuk melihat sebuah sekolah memiliki
semangat dan budaya sekolah yang sehat, lihatlah bagaimana cara kepala
sekolah, guru, komite sekolah, dan stakeholders lainnya membuat
perencanaan keuangan sekolah. Jika RAPBS dirancang dan digunakan sesuai
dengan kesepakatan dan sistem yang transparan dan akuntabel, dapat
dipastikan sekolah tersebut memiliki budaya sekolah yang sehat dan
positif. Namun sebaliknya, ketika keuangan sekolah dirancang dan
digunakan hanya segelintir orang, seperti kepala sekolah dan bendahara
sekolah, tanpa ada keterlibatan pihak lain, dapat dipastikan sekolah
tersebut memiliki budaya sekolah yang buruk dan negatif.
Ratusan ribu sekolah di Indonesia,
menurut hemat saya, memiliki budaya sekolah yang buruk dan negatif,
karena tata kelola keuangan sekolah yang berasal dari dana BOS, DAU, dan
DAK tidak dibuat berdasarkan kebutuhan proses belajar mengajar. Banyak
uang BOS yang dikelola secara tidak transparan alias penuh kecurangan,
karena baik kepala sekolah maupun dinas pendidikan secara menyengaja
membiarkan praktik tak sehat pengelolaan dana BOS itu terus berlangsung
dari hari ke hari. Di tingkat sekolah dasar misalnya, pembelian buku dan
LKS menjadi ajang yang kasatmata penuh dengan budaya koruptif. Belum
lagi, dana-dana program pengembangan kapasitas guru yang dikelola
seadanya, tanpa ada rujukan yang jelas.
Perlu skema
Kebiasaan inilah yang mela hirkan
racun atau toxic yang tiada henti dalam budaya sekolah kita, tanpa ada
keinginan sedikit pun dari Kemendikbud mengubah pola penyaluran dana BOS
melalui pendekatan yang berbeda, misalnya dengan menggunakan basis
jumlah sekolah sebagai unit analisisnya. Dana BOS disalurkan dengan
asumsi kepala siswa, yakni jumlah siswa pun sampai sekarang sangat mudah
dimanipulatif. Jika kita ingin mengubah mentalitas para kepala sekolah
dan guru serta aparat dinas pendidikan menjadi lebih baik, tak ada cara
lain kecuali membuat skema penyaluran dana operasional sekolah melalui
pendekatan berbasis kebutuhan sekolah yang dirancang dengan orientasi
proses belajar mengajar yang menyenangkan.
Terrence E Deal dan Kent D Peterson dalam Shaping School Culture: Pitfalls, Paradoxes, and Promises
(2009) mengingatkan kita akan bahaya budaya sekolah yang bu ruk dan
pasti akan meracuni semua yang ada di dalamnya. Bukan hanya siswa yang
paling akan menjadi korban, melainkan juga para guru, staf administrasi
sekolah, serta orangtua. Kesadaran untuk mengubah budaya sekolah
sesungguhnya sangat sederhana, yaitu dimulai dengan keterbukaan dalam
merancang RAPBS secara bersama dan berorientasi pada program peningkatan
kapasitas guru yang memicu kreativitas mereka dalam menciptakan suasana
belajar mengajar yang menyenangkan.
Meskipun budaya sekolah bisa jadi
merupakan persoalan subjektif, tetapi perlu diberikan bingkai yang
relevan dengan tuntutan proses belajar mengajar saat ini, karena budaya
sekolah ialah satu elemen sekolah yang teramat penting dan nyata,
meskipun sangat sulit untuk mendefinisikannya. Pemahaman terhadap budaya
sekolah merupakan salah satu faktor penting dalam struktur reformasi
dan kebijakan pendidikan di mana pun. Karena apa pun jenis perubahan
yang diinginkan dalam suatu sistem pendidikan, pasti akan mengalami
resistensi.
Karena itu, perlu dilakukan
pendefinisian yang bijak tentang budaya sekolah serta sejauh mana para
pengambil kebijakan dan pelaksana sekolah memahami makna budaya sekolah
dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Salah satu ciri sekolah yang memiliki
budaya sekolah yang sehat, dapat dilihat dari bagaimana sekolah
mengembangkan budaya sekolah dalam praktik merancang anggaran belanja
sekolah serta praktik keseharian interaksi guru dan siswa dalam proses
belajar mengajar. Keduanya memberi arti banyak dalam menentukan
perspektif dan ragam tindakan pengajaran, yakni guru dalam konteks
budaya, dapat mempengaruhi setiap aspek dari proses belajar mengajar (Peterson, 1998).
Karena itu, penting untuk dirumuskan kembali mekanisme sekolah dalam
merancang, merencanakan, dan melaksanakan APBS sesuai dengan
prinsip-prinsip keterbukaan, transparan, dan akuntabel. Jika tidak, efek
budaya sekolah terhadap keseluruhan performansi guru dan siswa, serta
implikasinya terhadap kebijakan bidang pendidikan dalam konteks budaya
sekolah, pasti akan terus terpuruk.
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 20 April 2015
MEDIA INDONESIA, 20 April 2015
0 Response to "Hitam Putih Budaya Sekolah "
Post a Comment