Rezim ujian
standar pendidikan secara nasional, secara singkat kita sebut UN, sudah
berkuasa dalam beberapa dekade di Indonesia. Menteri datang dan pergi
silih berganti, kurikulum berubah dari bandul satu ke bandul yang lain,
tetapi semua takluk pada rezim ini.
Rezim UN sangat berpengaruh dalam
mengatur mobilitas sosial dan ekonomi para siswa dari berbagai jenjang.
Tak mengherankan, kesakrakalannya harus dijaga sebagai “Rahasia Negara”,
diinapkan di kantor polisi sebelum diberikan kepada siswa, bahkan
Densus Anti Teror pun ikut terlibat mengawalnya.
Namun, sebuah rezim yang begitu
berkuasa tiba-tiba runtuh terkulai di tangan pemerintahan baru yang
menyatakan UN bukan satu-satunya alat menentukan kelulusan siswa,
melainkan sarana pemetaan untuk membantu menyusun kebijakan. Reaksi
beragam pun mulai muncul.
Seorang kepala sekolah mengeluhkan
anak didiknya yang tidak lagi bersemangat belajar untuk mempersiapkan
diri menghadapi UN (Kompas, 26 Januari 2015). Para kepala daerah
kehilangan “mainan” untuk membuktikan kepada publik keberhasilan program
pendidikan mereka. Para guru kebingungan bagaimana membuat siswa mereka
disiplin sampai ada oknum yang bertindak ekstrem dengan menghukum
siswanya hingga meninggal hanya karena tak mengerjakan pekerjaan rumah.
Saat tawuran pelajar kembali merebak dan melibatkan siswa-siswa senior,
ketiadaan UN pun dijadikan sebagai kambing hitam.
Jati diri sekolah
Inilah situasi masyarakat yang disebut
sosiolog terkemuka, Emile Dukheim (1897), sebagai situasi ‘anomie’, di
mana tatanan baru belum terbentuk dengan sempurna dan banyak pihak yang
menginginkan kembali pada tatanan lama dengan iming-iming “Enak
jamanku tho, le?” (Lebih enak di zaman saya kan, Nak?) Dalam situasi
yang masih galau inilah, perlu keteguhan hati dari segenap jajaran
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengantar segenap pemangku
kepentingan dunia pendidikan dalam visi yang sama.
Filsuf Driyarkara (1950) dengan lugas
menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan memiliki peran yang sama
dengan institusi sosial lain seperti keluarga, kelompok agama, dan
kelompok masyarakat, dalam membentuk para manusia muda ini sehingga
menjadi manusia yang utuh.
Untuk jadi manusia yang utuh, para
siswa ini terlibat dalam proses pembelajaran bersama dengan para guru
mereka, baik sebagai mentor ataupun fasilitator. Namun, rezim UN sudah
mereduksi sekolah jadi tempat persiapan ujian, yang secara substansif
tidak berbeda dengan sejumlah lembaga bimbingan belajar yang selalu
tumbuh bak jamur di musim hujan menjelang UN atau ujian standar lain.
Rezim UN sudah membuat para manusia
muda ini hanya dihargai sebatas nilai-nilai kuantatif semata. Sungguh
sebuah degradasi eksistensi yang begitu rendah atas diri manusia-manusia
muda ini. Padahal, dalam dunia nyata, seorang Rudi Hartono yang juara
badminton; Rudy Hadisuwarno yang penata rambut atau Rudi Salam yang
aktor tidak lebih rendah kemanusiwiannya bahkan kecerdasannya
dibandingkan dengan Rudi Habibie yang bisa merancang pesawat.
Membandingkan para “Rudi” muda ini
dalam sebuah penggaris yang sama jelas bukan merupakan tujuan membangun
sekolah. Apalagi, rezim UN sudah mengabaikan keanekaragaman situasi
sosial ekonomi di Indonesia dengan memakai Jawa perkotaan sebagai
standar yang harus diikuti semua wilayah di Indonesia. Karena itu,
penghilangan kekuasaan UN sebagai penentu kelulusan siswa jelas
mengembalikan sekolah pada jati diri sesungguhnya.
Seiring pudarnya kekuasaan rezim UN,
peran guru jadi sangat penting dalam memanusiakan para manusia muda ini.
Pada APBN tahun ini saja, pemerintah dan DPR sudah menggelontorkan dana
lebih dari Rp 60 triliun hanya untuk menambah tebal dompet para guru
lewat dana sertifikasi guru sehingga bisa fokus untuk membimbing anak
didik mereka. Kebijakan ini harus dibalas oleh para guru dengan
menunjukkan kinerja yang semakin profesional.
Guru dan multi-kecerdasan
Runtuhnya rezim UN harus disambut
gembira para guru bidang studi yang selama ini disepelekan siswa karena
tidak masuk dalam materi UN, seperti Pendidikan Seni dan Pendidikan
Jasmani. Pada masa rezim UN masih berkuasa, pemerintah begitu giat
“membuktikan” keberhasilan pendidikan kita dengan mengirimkan para siswa
pilihan untuk mengikuti berbagai olimpiade Matematika dan Sains tingkat
internasional.
Akan tetapi, usaha ini tidak lengkap
dan cenderung mengistimewakan guru dan mata pelajaran Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Padahal, pandangan sempit ini sudah ditentang
oleh pemikiran Howard Gardner (1983) tentang multiple intelligences yang
menguraikan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ
yang mendasarkan dari logika matematika dan bahasa, tetapi juga meliputi
segenap aspek kemanusiaan yang lain, seperti kecerdasan kinestetik
tubuh, musik, ruang-visual, alam, interpersonal, dan intrapersonal.
Dengan pemahaman multiple intelligence ini,
para siswa, guru, dan orangtua akan menyambut datangnya hari konser
atau invitasi olahraga sekolah seperti mereka mempersiapkan UN. Untuk
itu, para siswa akan bergairah mengasah kecerdasan musik mereka dalam
paduan suara, band maupun orkes simfoni. Demikian juga dalam bidang
olahraga, para siswa melatih diri mengembangkan kecerdasan kinektetik
tubuh saat mengocek bola atau mengayunkan raket badminton.
Saat hari konser atau pertandingan
tiba, mereka semua memang merasakan kekhawatiran, apakah para siswa itu
akan tampil dengan prima seperti yang selama ini dilatihkan, tetapi ada
kegembiraan saat melihat para tunas-tunas muda ini tampil memainkan alat
musik dengan percaya diri atau bersalaman dengan satria saat timnya
belum meraih kemenangan. Inilah perwujudan revolusi mental yang tidak
harus disampaikan dengan kata-kata sampai berbusa-busa.
Runtuhnya rezim UN juga memberi
kesempatan pada para guru-guru bahasa dan ilmu sosial dalam mempertinggi
daya intelektualitas anak dalam hierarki pemikiran yang tinggi, seperti
melakukan analisis, sintesis, dan berpikir kritis. Rezim UN jelas tak
akan mampu mengolah hal ini mengingat hanya ada satu jawaban benar dari
soal pilihan ganda, padahal dalam hidup tiada jawaban tunggal atas
persoalan kemanusiaan.
Hilangnya pengaruh UN juga bukan
musibah untuk para guru matematika dan ilmu alam, tapi justru memperkaya
pengajaran mereka selama ini. Dalam pengamatan penulis terhadap para
siswa Indonesia jenjang pendidikan menengah dan dasar yang mendapat
kesempatan pendidikan di Amerika, mereka tampak sangat hafal dengan
rumus dan bisa menyelesaikan soal hitungan dengan lebih cepat dibanding
rekan sejawatnya. Akan tetapi saat mereka harus mengaplikasikan rumus
tersebut dalam soal seperti dalam kehidupan sehari-hari, mereka gagap.
Dengan kesadaran akan multiple intelligence ini,
para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia hendaknya mulai
melihat bahwa patahnya sayap UN bukanlah malapetaka. Justru runtuhnya
kemahakuasaan UN ini akan membawa perspektif baru yang semakin luas bagi
siswa, guru, orangtua dan segenap masyarakat bahwa kemajuan bangsa di
masa depan akan kian cerah.
sumber: http://widiyanto.com
0 Response to "Setelah Rezim Ujian Nasional Pergi"
Post a Comment