Mari kita lihat secara jernih, apa
komentar para hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang terlibat dalam
urusan hukum ketika suatu perkara telah diselesaikan di persidangan?
Semuanya selalu berdalih, semua proses hukum telah berjalan dengan benar
dan mewakili rasa keadilan pihak-pihak yang terlibat.Namun, mari kita
uji ingatan tentang betapa pedihnya Nenek Minah di Purwokerto yang
dituntut pengadilan karena mencuri tiga buah kakao milik suatu
perkebunan di 2009.Pada 2011, seorang siswa SMK yang mencuri sandal
jepit dua orang polisi, dituntut 5 tahun penjara.
Yang masih hangat ialah peristiwa
Nenek Asyani yang terancam hukuman 5 tahun karena memindahkan beberapa
kayu jati milik Perhutani, sementara ada aparat bernama Labora Sitorus
yang juga ahli dalam memindahkan kayu dari hutan ke tengah kota, hingga
memiliki rekening triliunan malah memperoleh surat pembebasan sementara.
Betapa lucunya hukum di negeri ini. Rasa keadilan yang selalu digem
bar-gemborkan para penegak hukum, justru mati rasa ketika berhadapan
dengan ketidakberdayaan korban. Karena itu, pertanyaan lanjutannya ialah
apakah benar para penegak hukum mempelajari betul arti dan makna `rasa
keadilan’ ketika di bangku kuliah? Apakah ada mata kuliah `rasa
keadilan’ dalam kurikulum pendidikan hukum kita?
Rasanya sulit untuk menemukan fakta
bahwa para penegak hukum benar-benar telah mempelajari `rasa keadilan’
ketika mereka kuliah. Dalam struktur bangunan pendidikan hukum di
Indonesia, tak ada mata kuliah yang berkaitan dengan `rasa keadilan’ di exercise secara kontekstual dalam perkuliahan mereka. Ini berarti diperlukan review
kurikulum hukum di perguruan tinggi secara mendasar, termasuk menyusun
silabus yang terintegrasi dengan sekolah tingkat menengah dan atas. Saya
kira tak ada cara lain untuk mengajarkan sensitivitas anak agar di masa
tuanya memiliki `rasa keadilan’ ialah dengan memberikan mereka
pengajaran yang berorientasi kepada lingkungan sekitar mereka yang penuh
ketidakadilan.
Mengajarkan rasa keadilan
Rasa keadilan tak muncul dari langit
dengan tiba-tiba. Perlu proses panjang bagi seseorang untuk mencerna dan
mempelajarinya. Jika kita menengok sejarah Nabi Muhammad SAW yang
sering disebut sebagai nabi yang adil, mungkin tak banyak diceritakan
dalam buku sejarah agama Islam tentang kegemaran Nabi mengunjungi Pasar
Al-uqas sebagai tonggak dasar Nabi mempelajari keadilan dam kejujuran.
Di dalam pasar, si kecil Muhammad sering melihat praktik-praktik
ketidakadilan dan ketidakjujuran para pedagang yang mengorbankan
kepercayaan orang lain.Patut diduga mengapa ketika dewasa, Muhammad
dijuluki sebagai al-amin atau orang yang dapat dipercaya. Itu karena
Nabi Muhammad SAW ditempa dengan kegemarannya mengobservasi pasar
sebagai tempat untuk melihat ragam manusia berinteraksi.
Karena itu, jika kita ingin
mengajarkan rasa keadilan yang erat dengan kejujuran, tak usah ragu
untuk menjadikan pasar sebagai laboratorium sosial bagi sekolah dan
perguruan tinggi, karena di dalamnya banyak sekali terjadi peristiwa
sosial, ekonomi, budaya, agama, hingga budaya yang tak ada dalam
buku-buku teks sekolah dan perguruan tinggi. Sudah terbukti dalam
sejarah, bahwa akibat kegemarannya mengobservasi pasar, Nabi Muhammad
SAW tak pernah ragu untuk menunjukkan sikap tegas dan kejujurannya
terhadap keadilan.
Keteladanan Nabi dalam menunjukkan
rasa keadilan terekam secara jelas. Keadilannya dalam memimpin telah
dicatat sebagai untaian butiran mutiara sejarah. Nabi Muhammad SAW tidak
pandang bulu dalam menerapkan hukum dan menegakkan keadilan. Ketika
seorang wanita kaya dan keturunan bangsawan mencuri dengan tegas
diputuskan, wanita itu dihukum potong tangan.Bahkan, ketika famili
kerabat wanita itu meminta tolong kepada Usamah bin Zaid, seorang di
antara sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW untuk mohon
keringanan hukuman, beliau pun marah.
Dari peristiwa tersebut, kemudian Nabi berpidato, “Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya tidak lain yang membinasakan orang-orang
terdahulu sebelum kalian adalah jika ada orang terpandang di antara
mereka mencuri mereka membiarkannya, dan jika orang yang lemah di antara
mereka mencuri mereka menetapkan hukuman atasnya.Demi zat yang Muhammad
berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti
akan aku potong tangannya.“
Keadilan Nabi Muhammad SAW juga
disertai sikap belas kasihan pada satu kondisi dan menerapkan ketegasan
di waktu lain. Dalam Perang Badar, Rasulullah SAW pernah mengampuni
seorang kafir Quraisy bernama Abu Azza Jamahi yang tertawan dan berjanji
tidak akan bergabung kembali dengan pasukan kaum musyrikin menentang
Islam. Namun, dalam Perang Uhud, ia ikut barisan kaum musyrikin dan
kembali tertawan. Akhirnya, beliau pun menjatuhkan hukuman mati untuk
Jamahi.
Rasulullah SAW sangat berhati-hati dan
memperhatikan kaumnya dalam memimpin. Ketika meluruskan barisan
menghadapi peperangan, seorang sahabat bernama Sawad bin Ghaziyah
tertonjok perutnya oleh tongkat Nabi. Sawad pun meminta `keadilan’
Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku dengan tongkatmu. Aku minta pembalasan dari engkau.“
Nabi Muhammad SAW pun tak segan-segan membuka jubahnya dan menyuruh
Sawad membalas memukulnya. Namun, apa yang terjadi? Sawad memeluk dan
mencium pundak Rasulullah sambil menangis tersedu-sedu.
Contoh dan keteladan seperti ini
penting untuk diingatkan kembali kepada para penegak hukum kita agar
kembali meneladani Nabi Muhammad SAW, karena hidup tak melulu berurusan
dengan aspek materi dan duniawi. Akan ada pertanggung jawaban hakiki
yang akan dimintakan Tuhan terhadap kita semua, yaitu agar kita mampu
berbuat dan kebaikan secara bersamaan. Innallaha ya’murukum bil `adl wal ihsan,
seperti kerap kita dengar dari para khatib ketika mengakhiri khotbah
Jumat. Semoga para penegak hukum kita dapat mendengar kembali suara hati
mereka secara jernih dan jujur, agar rasa keadilan selalu menjadi
bagian paling besar dari para penegak hukum kita dalam mengambil dan
memutuskan sebuah perkara.
sumber: http://widiyanto.com
0 Response to "Pendidikan dan Rasa Keadilan"
Post a Comment